Suami Tewas Dilakban, Curhat Pita Suka Duka Jadi Istri Diplomat: Penuh Perjuangan

Wakos Reza Gautama Suara.Com
Rabu, 09 Juli 2025 | 17:44 WIB
Suami Tewas Dilakban, Curhat Pita Suka Duka Jadi Istri Diplomat: Penuh Perjuangan
Meta Ayu Puspintantri dan Arya Daru Pangayunan. [Dok Meta Ayu via Global news]

Suara.com - Sebelum tragedi merenggut nyawa suaminya di sebuah kamar kontrakan di Menteng, Jakarta Pusat, Meta Ayu Puspitantri atau Pita, istri dari diplomat muda Arya Daru Pangayunan, pernah meninggalkan sebuah jejak digital yang kini terasa begitu menyentuh.

Sebuah tulisan di media dutajati.com, terbit pada 14 April 2022, menjadi semacam curahan hati  Pita yang membuka tabir kehidupan seorang pendamping diplomat, sebuah dunia yang ternyata jauh dari kilau glamor yang dibayangkan banyak orang.

Tulisannya adalah sebuah potret jujur tentang perjuangan adaptasi, kerinduan yang mendalam, dan beban moral tak kasat mata yang dipikulnya di negeri orang.

Mitos Glamor yang Terbantahkan

Banyak yang membayangkan kehidupan istri diplomat identik dengan resepsi mewah dan gaun malam yang indah. Pita dengan tegas membantah citra tersebut.

Ia melukiskan realitas kesehariannya yang tak berbeda dengan ibu rumah tangga pada umumnya di Indonesia: berberes rumah, memasak, dan antar jemput anak sekolah.

"Memang untuk momen tertentu kami sebagai pendamping suami saat bertugas dituntut untuk dapat tampil baik dan representatif dengan busana nasional beserta atributnya. Namun di hari-hari biasa, kehidupan saya sama seperti kehidupan Ibu-ibu pada umumnya di Indonesia," tulisnya.

Baginya, kehidupan di balik layar jauh dari kata glamor, namun sarat dengan tanggung jawab yang lebih besar.

Perjuangan Menaklukkan Diri dan Budaya

Baca Juga: Polisi Sita 2 CCTV di Indekos, Kejanggalan Tewasnya Diplomat Kemlu Arya Daru Bisa Terkuak?

Menjadi "bayangan" suami di pentas dunia menuntut Pita untuk terus bertumbuh, bahkan di area yang tak pernah ia minati sebelumnya.

Salah satu tantangan terbesarnya adalah menari. Ia yang semula kaku dan tak punya minat, terpaksa harus belajar menari demi tugas negara.

"Saya yang tadinya bukan seorang penari dan belum ada minat ke sana, lama-lama mulai bisa merasakan enjoy," ujarnya.

Dari Tari Tobelo di Dili, Timor Leste, hingga Tari Lenggang Nyai yang ia pentaskan di malam resepsi diplomatik di Buenos Aires, Argentina, Pita menunjukkan kegigihannya dalam beradaptasi. Sebuah proses transformasi pribadi yang ia jalani demi mendukung tugas sang suami.

Perjuangan tak hanya soal menaklukkan panggung, tapi juga komunikasi sehari-hari. Di Argentina, dengan kemampuan bahasa Spanyol yang terbatas, ia menciptakan istilahnya sendiri untuk bertahan.

"Ada kalanya saya bertemu orang yang tidak dapat berbahasa Inggris, saya akan melakukan bahasa 'salah paham'. Ya, saya salah, tapi dia paham," katanya.

Beban Moral dan Kerinduan yang Terpendam

Di balik senyum ramahnya, Pita memikul "beban moral" yang berat. Ia sadar bahwa setiap perilakunya akan menjadi cerminan bangsa.

Sebuah insiden sederhana di Argentina menggambarkan betapa dalamnya kesadaran ini. Ia yang terbiasa membungkuk saat lewat di depan orang tua, justru membuat tetangganya yang sudah sepuh bingung.

"Suatu hari, saat saya bertemu dengan tetangga apartemen saya yang sudah sepuh sedang duduk menunggu lift bersama, saya melakukan itu dan Beliau bertanya, 'Apa kamu malu bertemu dengan saya?' Kemudian saya jelaskan dan kami pun menjadi sama-sama belajar," kenangnya.

Namun, di antara semua suka dan tantangan, ada satu duka yang selalu ia bawa: jarak dengan keluarga, terutama sang ibu.

Teknologi memang membantu, namun tak pernah bisa menggantikan pelukan. Perbedaan waktu 10 jam dengan Yogyakarta saat di Argentina membuat intensitas komunikasinya berkurang, sebuah kerinduan sunyi yang ia simpan di belahan dunia lain.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI