Fadli Zon Ingkari Kerja TGPF Mei 98 Soal Pemerkosaan Massal, Masyarakat Sipil Layangkan Keberatan

Dwi Bowo Raharjo Suara.Com
Rabu, 16 Juli 2025 | 13:19 WIB
Fadli Zon Ingkari Kerja TGPF Mei 98 Soal Pemerkosaan Massal, Masyarakat Sipil Layangkan Keberatan
Menteri Kebudayaan Fadli Zon. [Antara]

Suara.com - Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas melayangkan keberatan administratif kepada Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon terkait pernyataan publiknya yang dianggap telah mendelegitimasi kerja Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa 13-15 Mei 1998.

Mereka terdiri dari Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta Marzuki Darusman, Pendamping Korban Mei 1998 Ita F. Nadia, Pemuda Tionghoa Indonesia (IPTI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), bersama sejumlah kuasa hukum.

Keberatan ini menanggapi pernyataan Fadli Zon pada Siaran Berita Kementerian Kebudayaan yang dipublikasikan 16 Juni 2025 dan disebarluaskan melalui akun Instagram resmi@fadlizon dan@kemenbud.

Dalam pernyataan tersebut, Fadli Zon menyebut bahwa laporan TGPF hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid baik nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian atau pelaku.

“Pernyataan ini jelas merupakan bentuk pengingkaran terhadap hasil kerja dan temuan TGPF yang dibentuk secara resmi oleh Presiden ke-3 RI, BJ Habibie, berdasarkan Keputusan

Bersama lima Menteri pada 23 Juli 1998. TGPF melibatkan unsur pemerintah, Komnas HAM, LSM, dan organisasi masyarakat, dan telan menghasilkan laporan yang menjadi dokumen negara,” demikian keterangan Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas pada Rabu (16/7/2025).

Padahal, mereka menjelaskan Komnas HAM sendiri, melalui Tim Pengkajian dan Tim Penyelidik Pro-Yustisia yang dibentuk pada tahun 2003 telah menemukan indikasi kuat terjadinya pelanggaran HAM berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk kekerasan seksual terhadap perempuan dalam Peristiwa Mei 1998.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 065/PUU-II/2004 juga menegaskan bahwa dasar pembentukan Pengadilan HAM ad hoc harus bersumber dari hasil penyelidikan Komnas HAM.

“Maka seharusnya, Menteri Kebudayaan menghormati temuan resmi lembaga negara, dokumentasi sejarah, kesaksian korban, data investigatif, serta rekomendasi dari berbagai lembaga kredibel seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mei 1998, dan Tim Relawan untuk Kemanusiaan yang kesemuanya menjadi bukti nyata bahwa negara tidak bisa lagi menghindar dari tanggung jawab untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, khususnya Mei 1998 sekaligus tindakan tersebut justru memberikan ruang terjadinya praktik impunitas,” tutur mereka.

Baca Juga: Fadli Zon Tetapkan Hari Lahir Presiden Pabowo Jadi Hari Kebudayaan Nasional, PDIP: Ya Kebetulan Saja

Dengan begitu, pernyataan Fadli Zon dianggap sebagai tindakan administrasi pemerintahan yang menyalahgunakan wewenang sesuai UU Administrasi Pemerintahan dan Peraturan Presiden No. 190 Tahun 2024 tentang Kementerian Kebudayaan.

Menurut Koalisi Masyarakat Sipil, pernyataan Fadli Zon bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, termasuk bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).

“Tindakan tersebut juga telah berkontribusi pada pengaburan kebenaran, menghambat proses penuntasan pelanggaran berat HAM, serta melemahkan perlindungan hukum bagi korban dan keluarganya. Ini adalah bentuk pembiaran terhadap praktik impunitas,” tegas mereka.

Untuk itu, Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas menuntut agar Menteri Kebudayaan RI mencabut dan/atau menarik kembali pernyataannya dalam Siaran Berita Kementerian Kebudayaan Nomor: 151/Sipers/A4/HM.00.005/2025 serta klarifikasi terbuka melalui saluran resmi yang sama.

Mereka juga meminta agar Fadli Zon menyampaikan permintaan maaf terbuka kepada para korban kekerasan seksual dan pelanggaran HAM berat dalam Peristiwa Mei 1998, keluarga korban, perempuan Indonesia serta publik secara luas.

Terakhir, mereka menuntut adanya jaminan tidak terulangnya tindakan serupa, dan pelaksanaan edukasi internal di Kementerian Kebudayaan terkait prinsip-prinsip non-impunitas, penghormatan terhadap korban, dan standar kebenaran sejarah pelanggaran HAM berat.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI