Suara.com - Peneliti Indonesia Corruption Wathc atau ICW Wana Alamsyah menilai pasal yang mengatur praperadilan dari draf revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP bisa dimanfaatkan para koruptor untuk mengulur-ulur waktu agar tak segera diadili di pengadilan.
Hal itu kata Wana merujuk pada Pasal 154 huruf d draf revisi KUHAP yang memuat ketentuan jika proses praperadilan yang belum selesai diadili, maka pemeriksaan pokok perkara di pengadilan tidak dapat diselenggarakan.
Artinya, tersangka belum dapat diseret ke pengadilan untuk dimintai pertanggungjawaban pidana, jika praperadilan yang diajukannya belum diadili.
"Intinya itu mengulur waktu," kata Wana di Kantor ICW, Jakarta, Rabu (23/7/2025).
Ketentuan itu berbeda dengan pada KUHAP saat ini. Pada Pasal 82 Ayat 1 huruf d menyatakan, perkara yang sudah mulai diperiksa pengadilan, secara otomatis menggugurkan praperadilan yang diajukan tersangka.
"Ketika peradilan ini disahkan nanti di dalam KUHAP, kami khawatir bahwa proses penanganan pidana pokoknya (persidangan di pengadilan) ini terhambat," kata Wana.
Selain itu yang dikhawatirkan, tersangka korupsi memanfaatkan waktu yang tertunda untuk menyembunyikan atau menghilangkan alat bukti.
"Sehingga pada akhirnya kasusnya tidak terbongkar. Itu yang lebih mengkhawatirkan," ujarnya.
Pasal Kontroversial Revisi KUHAP
Baca Juga: Revisi KUHAP Haruskan KPK Serahkan Berkas Perkara ke Jaksa Lewat Polri : Potensi Manipulasi Hukum!
Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia kembali menghadapi tantangan serius.
Penyebabnya, rancangan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memuat sejumlah pasal kontroversial yang berpotensi melumpuhkan kewenangan aparat penegak hukum, terutama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Lantaran itu, Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi melayangkan kritik keras terhadap sejumlah pasal dalam draf revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Aturan yang disorot secara khusus, yakni berkaitan dengan upaya paksa, seperti penggeledahan dan pencekalan, yang kini lingkupnya dipersempit hanya untuk tersangka.
Ketentuan baru tersebut dinilai akan menjadi sandungan besar dalam proses penegakan hukum tindak pidana korupsi, yang secara langsung dapat menghambat efektivitas kerja KPK.