Suara.com - Pernyataan mengejutkan datang dari Anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam, soal wacana pajak amplop kondangan. Dalam rapat kerja dengan Kementerian BUMN dan Danantara di Gedung DPR, Rabu (23/7/2025), ia menyebut adanya kemungkinan penerapan pajak terhadap uang yang diterima masyarakat dalam acara hajatan seperti acara pernikahan.
“Bahkan kami dengar dalam waktu dekat orang yang mendapat amplop di kondangan dan di hajatan akan dimintai pajak oleh pemerintah. Nah ini kan tragis, sehingga ini membuat rakyat kami hari ini cukup menjerit,” ujar Mufti.
Pernyataan ini sontak viral dan memicu keresahan publik. Banyak yang mempertanyakan kebenaran wacana tersebut dan khawatir tradisi memberi amplop dalam hajatan akan menjadi objek pajak.
Menanggapi kegaduhan ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP Kemenkeu) langsung memberikan klarifikasi dan memastikan bahwa tidak ada rencana memungut pajak dari amplop hajatan.
Berikut ini lima fakta terkait isu pajak amplop kondangan yang perlu diketahui publik.
1. DJP Pastikan Tak Ada Pajak untuk Amplop Kondangan
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, menegaskan bahwa tidak ada kebijakan baru dari DJP maupun pemerintah yang akan memungut pajak atas uang yang diterima dalam hajatan.
Baik pemberian secara tunai maupun melalui transfer digital, amplop kondangan bukan objek pajak penghasilan. Penjelasan ini disampaikan Rosmauli kepada media pada hari yang sama saat pernyataan DPR mencuat ke publik.
2. Dasar Hukum: UU HPP Tidak Pajaki Sumbangan Pribadi
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), disebutkan bahwa tidak semua tambahan kemampuan ekonomis dapat dikenakan pajak. Pasal 4 ayat (3) menyatakan bahwa sumbangan atau bantuan pribadi tidak termasuk objek pajak.
Meskipun tidak disebut eksplisit, uang amplop dalam hajatan seperti pernikahan masuk dalam kategori sumbangan yang bersifat non-komersial, sehingga bebas pajak.
3. Pajak Hanya Berlaku untuk Penghasilan Rutin dan Usaha
DJP menjelaskan bahwa penghasilan yang dikenakan pajak adalah tambahan kemampuan ekonomis yang diterima secara rutin, profesional, atau berasal dari kegiatan usaha dan pekerjaan. Karena pemberian amplop kondangan bersifat insidental dan tidak berhubungan dengan profesi atau kegiatan bisnis, maka tidak memenuhi syarat sebagai penghasilan kena pajak.
4. Sistem Pajak di Indonesia Gunakan Prinsip Self-Assessment
Salah satu poin penting yang disampaikan DJP adalah bahwa sistem perpajakan di Indonesia menganut prinsip self-assessment, di mana Wajib Pajak secara mandiri melaporkan penghasilannya melalui SPT Tahunan. Tidak ada pemungutan langsung oleh petugas pajak, apalagi dalam kegiatan sosial seperti hajatan keluarga. Prinsip ini menjadi dasar bahwa kegiatan pribadi seperti menerima amplop kondangan tidak berada dalam pengawasan aktif DJP.