Publik Tak Terima Arya Daru Bunuh Diri, Pakar Bongkar Kejanggalan Lakban

Tasmalinda Suara.Com
Rabu, 30 Juli 2025 | 19:22 WIB
Publik Tak Terima Arya Daru Bunuh Diri, Pakar Bongkar Kejanggalan Lakban
Konfrensi Pers Kasus Kematian Arya Daru Pangayunan (Suara.com)

Suara.com - Kematian Arya Daru di kamar kosnya di Menteng, Jakarta Pusat, meninggalkan lebih banyak pertanyaan setelah polisi menetapkan jika tindakan tersebut ialah bunuh diri.

Meskipun polisi telah memeriksa 24 saksi dan 103 barang bukti, banyak pihak, termasuk para ahli di bidangnya, merasa narasi yang disajikan terlalu sederhana untuk sebuah kasus yang begitu kompleks dan janggal.

Dalam sebuah diskusi tajam di program "Apa Kabar Indonesia Pagi" tvOne, keraguan publik seolah mendapat pembenaran dari analisis para narasumber yang hadir.

Salah satu keraguan terbesar datang dari analisis metode kematian itu sendiri.

Mantan Wakapolri, Komjen Pol (Purn) Oegroseno, mempertanyakan logika di balik penggunaan plastik yang dilakban secara menyeluruh di kepala korban.

"Kalau bunuh diri pakai plastik, lakbannya cukup di leher saja," ujar Oegroseno dengan lugas. Ia melanjutkan,

"Kenapa harus dilakban utuh? Itu kan pertanyaan yang perlu dijawab."

Menurutnya, sangat sulit bagi seseorang untuk melakban seluruh kepalanya serapi itu dalam kondisi panik dan kehabisan napas.

Logika ini mengarah pada pertanyaan paling fundamental: jika korban sudah meninggal, siapa yang melakban kepalanya?

Baca Juga: Kematian Diplomat Arya Daru Tuai Sorotan, Penyebabnya Gegara Bunuh Diri Baru Kesimpulan Awal Polisi?

"Kalau dia sudah meninggal baru dikasih plastik dan dilakban, ya mungkin seperti itu," tambahnya, yang secara tidak langsung membuka kemungkinan adanya pihak lain yang merekayasa tempat kejadian perkara (TKP).

Kecurigaan ini diperkuat oleh fakta bahwa tidak ditemukan satu pun sidik jari orang lain di TKP.

Namun, Oegroseno dengan cepat mematahkannya.

"Namanya film juga ada, pelaku kan bisa pakai sarung tangan," sindirnya, menyiratkan bahwa ketiadaan jejak justru bisa menjadi tanda pelaku yang sangat profesional.

Analis Kejahatan: Operasi Intelijen Hitam dan Pengalihan Isu?

Analisis yang lebih berani dilontarkan oleh Mustofa Nahrawardaya, Koordinator Indonesia Crime Analyst Forum. Ia tidak hanya meragukan, tetapi juga menawarkan hipotesis alternatif yang mengejutkan, mengingat posisi korban sebagai seorang diplomat.

"Kalau ini bagian dari operasi intelijen hitam, ini betul-betul sangat sempurna," kata Mustofa.

Ia menyoroti beberapa poin yang memperkuat kecurigaannya seperti konteks pekerjaan korban yang merupakan sebagai diplomat, Arya Daru menangani berbagai kasus sensitif di luar negeri, termasuk Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang melibatkan sindikat besar.

Selain itu, waktu yang janggal yang mana kematian ini terjadi di tengah situasi nasional yang sedang goyah oleh berbagai kasus besar. Mustofa tidak menutup kemungkinan adanya skenario issue deception atau pengalihan isu.

"Jangan-jangan ini pengalihan konsentrasi massa," spekulasinya.

Publik dan netizen menyoroti ekspresi penjaga kos yang dinilai "terlalu tenang".

Mustofa juga menggarisbawahi pentingnya detail forensik yang belum terungkap jelas. "Apakah plastik itu utuh atau berlubang? Kondisi wajah ketika dilakban seperti apa?

Itu tidak ter-publish," katanya. Hal-hal ini sangat krusial untuk menentukan apakah kematian disebabkan oleh kehabisan oksigen murni atau ada faktor lain.

Pintu Terkunci Tiga Lapis, Tapi Jendela Jadi Celah Kecurigaan

Di sisi lain, Komisioner Kompolnas Yusuf Warsyim menjelaskan alur kerja penyidik yang berbasis fakta. Menurutnya, penyidik telah memeriksa dua kemungkinan akses masuk orang lain, yaitu pintu dan jendela.

Pintu utama kamar kos terkunci dari dalam dengan tiga lapis pengaman, termasuk kunci elektronik yang sulit diduplikasi. Ini menjadi salah satu pilar utama kesimpulan polisi bahwa tidak ada orang lain yang masuk.

Namun, celah kecurigaan justru datang dari jendela.

Menurut Yusuf, jika ada pelaku yang masuk, ia harus mempelajari cara membuka jendela tersebut, yang tentu membutuhkan perencanaan.

Hal ini senada dengan analisis Arief Fadhil dari tvOne yang menyebutkan bahwa penjaga kos sendiri terlihat sangat lihai membuka jendela tersebut, sebuah detail yang memicu rasa penasaran netizen.

"Ketika kita menduga ada pelaku, maka si pelaku itu diduga sudah mempelajari dulu jendela itu," ujar Yusuf.

Pada akhirnya, diskusi ini mengerucut pada satu kesimpulan: terlalu banyak "lubang" dalam cerita resmi.

Dari cara lakban yang terlalu rapi, kondisi plastik yang misterius, hingga kemungkinan adanya motif yang jauh lebih besar dari sekadar masalah pribadi, semuanya menuntut penyelidikan yang lebih transparan dan mendalam.

Masyarakat kini menanti, apakah kepolisian akan membuka kembali kemungkinan adanya "novum" atau bukti baru berdasarkan analisis dan keraguan yang berkembang luas ini?

Satu hal yang pasti, publik belum "ikhlas" menerima kesimpulan yang ada, dan misteri kematian sang diplomat masih jauh dari kata usai.

Bagaimana menurut Anda? Apakah kejanggalan-kejanggalan ini cukup kuat untuk membuka kembali penyelidikan? Bagikan analisis Anda di kolom komentar!

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI