"Ini tamparan buat pemerintah. Malu sama semangat anak ini."
Publik paham betul bahwa ini bukanlah salah si anak yang miskin, bukan pula sepenuhnya salah guru di lapangan yang mungkin juga serba terbatas. Ini adalah kegagalan sistemik yang diwariskan, yang lebih menghargai keseragaman tampilan daripada keberagaman potensi.
Fenomena ini menunjukkan kedewasaan publik. Respons yang muncul bukan hanya seruan untuk mencari anak dalam foto dan memberinya donasi.
Percakapan dengan cepat meluas ke arah yang lebih fundamental: tuntutan perubahan kebijakan.
Warganet mulai mempertanyakan relevansi aturan wajib seragam, terutama di daerah-daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi.
Apakah aturan yang mungkin baik untuk melatih disiplin di kota, justru berubah menjadi gerbang diskriminasi di desa?
Meme sederhana ini berhasil melakukan apa yang gagal dilakukan oleh banyak diskusi formal.
Ia menyatukan suara publik untuk menggugat sebuah aturan yang dianggap tidak lagi relevan dengan semangat zaman dan amanat konstitusi untuk "Mencerdaskan Kehidupan Bangsa".
Pada akhirnya, kisah anak ini mengingatkan kita bahwa di balik data statistik dan program pemerintah, ada wajah-wajah nyata yang semangatnya bisa padam hanya karena aturan sepele soal pakaian.
Baca Juga: Bendera One Piece Berkibar di Sidang TNI Penembak Siswa SMP, Simbol Perlawanan Gen Z?
Sudah saatnya kita memastikan bahwa satu-satunya seragam yang wajib dikenakan untuk masuk ke sekolah adalah rasa ingin tahu.
Menurut Anda, haruskah aturan wajib seragam dihapuskan, setidaknya untuk daerah-daerah yang tidak mampu? Ataukah ada solusi lain yang lebih adil?
Bagikan pandangan Anda di kolom komentar.