Suara.com - Sebuah unggahan di media sosial baru-baru ini telah memicu "trauma kolektif" bagi mahasiswa dan alumni di seluruh Indonesia.
Ceritanya sederhana namun dampaknya luar biasa: seorang mahasiswi Universitas Gadjah Mada (UGM) dikabarkan harus berhadapan dengan denda perpustakaan sebesar Rp 5 juta karena telat mengembalikan buku.
Angka yang fantastis ini yang bagi banyak orang lebih mahal dari biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) per semester, sontak membuat jagat maya geger.
Kisah ini bukan lagi sekadar keluhan personal; ia telah menjadi gugatan massal terhadap sistem birokrasi kampus yang dianggap kaku dan tidak berempati.
Lantas, bagaimana bisa denda pinjam buku membengkak hingga setara harga sebuah laptop gaming?
Kronologi Mimpi Buruk: Dari Lupa menjadi Bencana Finansial
Menurut narasi yang beredar, kasus ini bermula dari hal yang sangat manusiawi yakni lupa.
Sang mahasiswi diduga telat mengembalikan beberapa buku dalam jangka waktu yang sangat lama. Tanpa disadari, denda yang terakumulasi hari demi hari berubah dari angka recehan menjadi "monster" jutaan rupiah.
Saat hendak mengurus administrasi kelulusan atau keperluan akademik lainnya yang membutuhkan status "bebas perpus", barulah "bom waktu" ini meledak. Ia dihadapkan pada tagihan yang nominalnya terasa tidak masuk akal.
Baca Juga: 5 Fakta Mahasiswi UGM Kena Denda Pustaka Rp 5 Juta: Viral Nangis-nangis, Kampus Bereaksi!
Angka Rp 5 juta ini bukanlah denda satu kali. Ia adalah hasil dari perhitungan matematis sebuah sistem yang berjalan tanpa henti. Mari kita bedah:
Aturan perpustakaan umumnya memberlakukan denda harian per buku (misalnya, Rp 500 atau Rp 1.000 per buku per hari).
Jika seorang mahasiswa meminjam, katakanlah, 5 buku dan lupa mengembalikannya selama 2 tahun (sekitar 730 hari).
Dengan denda Rp 1.000/buku/hari, perhitungannya menjadi: 5 buku x Rp 1.000 x 730 hari = Rp 3.650.000.
Angka ini menunjukkan betapa mudahnya denda kecil membengkak menjadi tagihan horor jika tidak ada sistem pemaafan atau batas maksimal denda (capping). Perpustakaan yang seharusnya menjadi sumber ilmu, tanpa sadar berubah menjadi "mesin denda" yang kejam.
Kemarahan publik bukan hanya karena nominalnya. Kasus ini meledak karena ia menyentuh beberapa saraf paling sensitif: