Suara.com - Di antara deru amarah dan duka yang tak terperi, sebuah kalimat mengoyak keheningan. "Anak saya dibunuh, bukan gugur!"
Kalimat itu meluncur dari bibir Sersan Mayor (Serma) Kristian Namo, seorang prajurit TNI aktif yang hatinya hancur berkeping-keping yang tidak lain, ialah ayah Prada Lucky.
Di hadapannya, terbaring jasad Prada Lucky, putranya, yang tewas bukan karena terjangan peluru musuh di medan perang, melainkan oleh siksaan brutal para seniornya di dalam barak.
Jeritan Serma Kristian adalah puncak dari ironi paling menyakitkan.
Tuntutannya untuk "hukuman mati" bukan sekadar permintaan, melainkan sebuah deklarasi perang seorang ayah terhadap budaya kekerasan yang telah merenggut putranya.
Ini adalah kisah tentang seorang prajurit yang harus menghadapi musuh paling mengerikan: rekan-rekan di dalam institusi yang sama-sama mereka layani.
"Dibunuh, Bukan Gugur": Sebuah Perbedaan yang Menyakitkan
Bagi seorang prajurit dan keluarganya, kata "gugur" adalah sebuah kehormatan. Ia menyiratkan pengorbanan tertinggi demi bangsa dan negara.
Ada kebanggaan di balik duka. Namun, Serma Kristian dengan tegas menolak kata itu untuk putranya.
Baca Juga: 5 Fakta di Balik Jeritan Terakhir Prada Lucky: Tewas Usai Disiksa 20 Senior TNI?
Dengan mendeklarasikan anaknya "dibunuh", ia melakukan dua hal secara bersamaan:
Ia menolak narasi bahwa kematian Prada Lucky adalah bagian dari "risiko dinas".
Ia melabelinya sebagai tindakan kriminal biasa—sebuah pembunuhan yang keji.
Kata "dibunuh" menuntut adanya pembunuh yang harus diadili secara pidana, bukan sekadar pelanggar disiplin yang dihukum secara internal.
Ini adalah penolakan total terhadap segala upaya untuk menutupi kasus atau meringankan hukuman pelaku.
Seruan ini adalah perlawanan seorang ayah yang menolak anaknya dijadikan sekadar statistik korban senioritas.
Baginya, Prada Lucky adalah korban pembunuhan, titik.
Saat Seragam Kebanggaan Berlumur Luka Pengkhianatan
Bayangkan betapa bangganya Serma Kristian saat melepas putranya, Prada Lucky, untuk mengikuti jejaknya.
Ia mengirim seorang anak laki-laki yang penuh mimpi untuk ditempa menjadi pelindung negara, percaya bahwa institusi TNI akan menjaganya seperti keluarga.
Kepercayaan itu kini hancur lebur. Seragam loreng yang dulu ia pakaikan pada anaknya dengan bangga, kini menjadi saksi bisu dari pengkhianatan yang tak termaafkan.
"Saya kirim anak untuk jadi tentara, untuk mengabdi, bukan untuk dibunuh!" ratapannya yang didengar banyak saksi mata adalah ringkasan dari seluruh tragedi ini.
Ia melihat langsung luka-luka di tubuh anakny bukti fisik dari siksaan yang terjadi di tempat yang seharusnya paling aman. Barak itu bukan lagi barak, tapi TKP. Para senior itu bukan lagi senior, tapi pembunuh.
Konflik Batin Seorang Prajurit, Amarah Mendidih Seorang Ayah
Inilah inti dari tragedi personal Serma Kristian. Di satu sisi, ia adalah seorang sersan mayor yang terikat pada sapta marga dan sumpah prajurit. Ia mengerti hierarki dan proses hukum militer.
Namun, di sisi lain, ia adalah seorang ayah yang nalurinya hanya mengenal satu hal: keadilan mutlak untuk darah dagingnya.
Saat melihat putranya terbujur kaku, sisi prajuritnya mungkin runtuh, menyisakan hanya amarah murni seorang ayah yang ingin membalaskan kematian anaknya.
Tuntutannya akan "hukuman mati" adalah manifestasi dari sisi ayah yang dominan ini. Ia tidak lagi peduli pada prosedur yang berbelit atau hukuman yang mungkin hanya berupa kurungan penjara dan pemecatan.
Baginya, nyawa harus dibayar dengan nyawa. Itu adalah satu-satunya hukuman yang sepadan dengan rasa sakit yang ia dan keluarganya rasakan.
Jeritan Serma Kristian menjadi lebih kuat karena ia bukan sekadar suara individu.
Ia menjadi corong bagi keluarga korban-korban lain yang mungkin selama ini diam, takut, atau tak berdaya menghadapi institusi yang begitu besar.
Dengan pangkat dan statusnya sebagai prajurit aktif, keberaniannya untuk bersuara lantang memberikan harapan bagi publik bahwa kali ini, kasus kekerasan senioritas tidak akan berakhir di ruang-ruang senyap.
Kisahnya menjadi simbol perlawanan dari dalam, sebuah gugatan dari seorang abdi negara yang menuntut institusinya untuk membersihkan boroknya sendiri.
Dunia kini menatap, menunggu apakah jeritan seorang ayah ini akan menjadi lonceng kematian bagi budaya kekerasan, atau hanya akan menjadi satu lagi ratapan pilu yang hilang ditelan waktu.
Serma Kristian menuntut hukuman mati, sebuah tuntutan yang lahir dari duka terdalam.
Apakah Anda setuju dengan tuntutannya?
Dan menurut Anda, apa yang harus dilakukan agar jeritan seorang ayah ini benar-benar membawa perubahan?
Mari diskusikan.