Suara.com - Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menegaskan, Komisi III sudah diberikan deadline alias tenggat waktu, untuk merampungkan draf RUU Perampasan Aset.
Dia mengungkapkan, pembahasan RUU Perampasan Aset belum dapat dimulai karena harus menunggu penyelesaian revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).
Ia mengaku telah memberikan peringatan kepada Komisi III DPR, sebagai penanggung jawab, untuk segera merampungkan revisi KUHAP.
Menurut Dasco, penyelesaian KUHAP menjadi prioritas agar jalan bagi pembahasan RUU Perampasan Aset yang telah lama ditunggu publik bisa terbuka lebar.
“Soal RKUHAP masih menerima partisipasi publik. Tapi kami sudah sampaikan ke pimpinan Komisi II, sudah ada deadline perampungan. Partisipasi publik kan sudah banyak karena telah berjalan cukup lama," kata Dasco seusai menggelar pertemuan dengan perwakilan mahasiswa di Kompleks Parlemen, Rabu (3/9/2025).
Lebih lanjut, politikus Partai Gerindra tersebut menjelaskan alasan teknis di balik penundaan ini.
Ia menyebut, RUU Perampasan Aset memiliki keterkaitan erat dengan materi yang diatur dalam KUHAP.
Untuk menghindari terjadinya tumpang tindih regulasi dan potensi masalah hukum di kemudian hari, DPR harus memastikan revisi KUHAP selesai terlebih dahulu sebelum melangkah ke pembahasan RUU Perampasan Aset.
“Jadi, ketika KUHAP selesai, kami langsung bahas UU Perampasan Aset. Kedua produk hukum itu saling terkait satu sama lain," kata dia.
Baca Juga: Dasco: Kamis Besok, DPR Akan Bahas 17+8 Tuntutan Rakyat
Meski begitu, ia memberikan sinyal optimisme. Dasco berharap revisi KUHAP dapat dituntaskan dalam waktu dekat, setidaknya sebelum masa sidang saat ini berakhir.
Dengan demikian, DPR bisa segera fokus memenuhi salah satu tuntutan utama para demonstran.
“Akhir masa sidang ini, mudah-mudahan, KUHAP selesai. Jadi kami langsung masuk pembahasan RUU Perampasan Aset."
Penantian Panjang Selama 17 Tahun
Pernyataan Dasco ini menjadi babak baru dalam perjalanan panjang dan berliku RUU Perampasan Aset.
RUU ini bukanlah usulan baru. Sejak pertama kali digagas oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada tahun 2008, rancangan aturan ini seolah berjalan di tempat.
Telah melewati tiga periode kepresidenan, RUU ini tak kunjung berhasil disahkan menjadi undang-undang.
Padahal, urgensinya terus meningkat seiring dengan semakin canggihnya modus kejahatan ekonomi, terutama korupsi.
Kini, di tengah memuncaknya amarah dan kekecewaan publik, desakan agar pemerintah dan DPR segera mengesahkannya kembali menjadi isu sentral.
RUU Perampasan Aset dirancang untuk memberikan landasan hukum yang kuat bagi negara untuk menyita dan merampas aset milik pelaku tindak pidana tanpa harus menunggu putusan bersalah (inkracht).
Fokus utamanya adalah kejahatan bermotif ekonomi seperti korupsi, pencucian uang, dan narkotika.
Tujuannya jelas: memaksimalkan pengembalian kerugian negara dan memberikan efek jera dengan memiskinkan para koruptor, sehingga hasil kejahatan tidak dapat lagi mereka nikmati.