- Gugus Tugas Pencari Fakta menemukan adanya unsur kesengajaan dalam insiden tewasnya ojol Affan yang dilindas rantis Brimob.
- Bukti kunci mencakup manuver rantis yang agresif seperti mengejar massa dan tidak berhenti setelah melindas korban.
- Atas temuan tersebut, kasus ini didesak untuk diproses secara pidana sebagai pelanggaran HAM, bukan hanya pelanggaran etik.
Suara.com - Narasi kecelakaan tragis yang menewaskan pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, kini digugat dengan temuan-temuan yang mengarah pada dugaan kuat unsur kesengajaan.
Gugus Tugas Pencari Fakta Tim Advokasi untuk Demokrasi membeberkan serangkaian bukti, yang menunjukkan insiden lindasan kendaraan taktis (rantis) Brimob pada 28 Agustus lalu bukanlah kelalaian biasa.
Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya Saputra, dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (10/9/2025), menyatakan keputusan aparat untuk mengerahkan rantis justru setelah massa aksi dibubarkan dengan gas air mata adalah sebuah anomali yang mencurigakan.
"Pertanyaan besarnya adalah, ketika sudah dilakukan penembakan gas air mata untuk mengurai massa, kenapa kepolisian kemudian menggunakan kendaraan taktis untuk menghalau massa atau membubarkan massa?" tanya Dimas.
Bagi tim pencari fakta, pertanyaan ini berujung pada satu kesimpulan awal.
"Jadi itu yang kemudian menjadi pertanyaan besar dan menjadi telaah kami, bahwa ada unsur kesengajaan di sini. Ada kesadaran penuh yang kemudian diambil keputusannya oleh kepolisian. Dan menurut kami ini tentu adalah tindakan yang berlebihan atau represif," sambungnya.
Manuver Zig-Zag dan Pelanggaran Prosedur Fatal
Dugaan penggunaan kekuatan berlebihan ini diperkuat oleh kesaksian dan analisis video yang menunjukkan manuver rantis yang tidak wajar.
Wakil Ketua YLBHI, Arif Maulana, yang juga tergabung dalam gugus tugas, menggambarkan bagaimana rantis tersebut bergerak agresif.
Baca Juga: Tim Pencari Fakta Bantah Kompolnas: Affan Merunduk, Bukan Jatuh Sebelum Terlindas!
"Sejak di Pejompongan sampai hampir ke lokasi pelindasan, yang terjadi adalah rantis itu kalau kita saksikan di video seperti mengejar serta (melaju) zig-zag. Dan massa aksi itu berlarian ke pinggir samping jalan untuk menyelamatkan diri," ujar Arif.
Arif menegaskan, pengerahan rantis untuk berhadapan langsung dengan massa merupakan pelanggaran prosedur yang fatal. Ia merujuk pada Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa.
"Ketika terjadi aksi massa, rantis APC (armoured personnel carrier) seharusnya ditempatkan di sebelah obyek vital, bukan berhadapan langsung dengan massa," tegasnya.
Tak Berhenti Setelah Melindas
Fakta yang paling memberatkan datang dari detik-detik setelah Affan terlindas. Berdasarkan rekaman video, rantis tersebut tidak berhenti seketika setelah terjadi benturan, sebuah reaksi yang seharusnya wajar dalam sebuah kecelakaan.
"Jadi bukan berhenti terus kemudian menabrak, tapi nabrak dulu baru berhenti. Kemudian bukannya mundur atau diam, tapi justru melaju kembali," ungkap Arif, menggambarkan kronologi yang mengerikan.
Atas dasar temuan-temuan ini, Gugus Tugas Pencari Fakta menyimpulkan adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat dalam peristiwa meninggalnya Affan. Mereka menegaskan kasus ini tidak bisa ditutup hanya dengan sanksi etik internal, melainkan harus masuk ke ranah pidana.
"Sedangkan pelanggaran hukum dapat dilihat dari aspek hukum pidana materil sebagaimana diatur dalam Pasal 338 KUHP," pungkas Arif, merujuk pada pasal tentang pembunuhan.