- David Van Reybrouck menilai rencana menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional sebagai perkembangan yang mengkhawatirkan.
- Dalam diskusi di Ubud Writers and Readers Festival 2025, ia menyebut langkah tersebut sama absurdnya dengan memberi Nobel Perdamaian kepada Donald Trump.
- David menegaskan pentingnya kejujuran sejarah agar bangsa Indonesia tidak melupakan luka masa lalunya demi masa depan demokrasi yang lebih sehat.
Suara.com - Sejarawan sekaligus penulis buku Revolusi: Indonesia and the Birth of the Modern World, David Van Reybrouck, melontarkan kritik tajam terhadap wacana menjadikan mantan Presiden Soeharto sebagai pahlawan nasional.
Dalam forum diskusi di Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2025 yang digelar di Taman Baca Ubud, David menyebut gagasan tersebut sebagai “perkembangan yang mengkhawatirkan.”
Ia bahkan menilai, pemberian gelar itu berpotensi menutupi sejarah kelam pelanggaran hak asasi manusia dan represi politik pada masa Orde Baru.
“Menjadikan diktator militer sebagai pahlawan nasional sama seperti memberikan Nobel Perdamaian kepada Donald Trump,” ujarnya dikutip Sabtu, (1/11/2025).
Diskusi tersebut dipandu Anggota Komisi X DPR, Bonnie Triyana, yang juga dikenal sebagai sejarawan.
Dalam perbincangan itu, David menyinggung tahun 1965 yang disebutnya sebagai titik balik suram dalam sejarah Indonesia dan dunia. Di mana menurutnya, rezim militer yang lahir pasca-peristiwa tersebut telah menutup ruang kebebasan berpikir dan mematikan semangat progresif yang berkembang di era Soekarno.
“Antara 1945 hingga 1965, Indonesia adalah pemain dunia, pusat dinamika global. Setelah itu, pintu ditutup rapat oleh kekuasaan militer,” jelasnya.
Saat menjawab pertanyaan peserta tentang bagaimana bangsa Indonesia sebaiknya memperlakukan masa lalunya, David menekankan pentingnya kejujuran sejarah. Ia menilai pengakuan atas kebenaran masa lalu adalah langkah awal untuk membangun masa depan yang lebih sehat secara politik dan moral.
“Bangsa yang berani menatap masa lalunya dengan jujur akan lebih kuat menghadapi tantangan demokrasi modern,” ujarnya.
Baca Juga: Soeharto Jadi Pahlawan Nasional? Istana: Namanya Sudah Diusulkan, Tunggu Keputusan Presiden
Di akhir diskusi, David lantas menyerukan agar publik Indonesia meninjau ulang sejarah dengan jernih, bukan dengan glorifikasi kekuasaan.
“Menghormati masa lalu bukan berarti menutup mata terhadap luka sejarah,” pungkasnya.