suara hijau

Demi Target Ekonomi Indonesia Menolak Phase-Out Energi Fosil: Apa Dampaknya?

Bimo Aria Fundrika Suara.Com
Rabu, 26 November 2025 | 12:20 WIB
Demi Target Ekonomi Indonesia Menolak Phase-Out Energi Fosil: Apa Dampaknya?
Utusan Khusus Presiden Bidang Energi dan Perubahan Iklim, Hasyim Djojohadikusumo. Suara.com/Bimo Aria Fundrika)
Baca 10 detik
    • Utusan Khusus Presiden Hasyim Djojohadikusumo menegaskan Indonesia memilih phase-down, bukan phase-out energi fosil.
    • Pemerintah menyebut target pertumbuhan ekonomi 8% pada 2029 membuat penghentian fosil tidak realistis.
    • Pengamat menilai Indonesia “tidak menunjukkan kepemimpinan” dan terlalu fokus jual-beli karbon di COP30.

Suara.com - Utusan Khusus Presiden Bidang Energi dan Perubahan Iklim, Hasyim Djojohadikusumo, menegaskan bahwa Indonesia tidak akan mengikuti tuntutan global untuk melakukan phase-out energi fosil.

Hal itu disampaikan dalam sesi “Navigating Growth in a Sustainable World After COP30” pada Sustainability Summit, yang diadakan di Auditorium Bank Mega, Jakarta Selatan, Rabu (26/11/2025), tak lama setelah ia kembali dari COP30 bersama Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq.

“Tekanan untuk phase-out sangat besar. Tapi sejak era Pak Jokowi hingga Presiden Prabowo, posisi kita konsisten: kita phase-down, bukan phase-out.” ujar Hasyim.

Utusan Khusus Presiden Bidang Energi dan Perubahan Iklim, Hasyim Djojohadikusumo. Suara.com/Bimo Aria Fundrika)
Utusan Khusus Presiden Bidang Energi dan Perubahan Iklim, Hasyim Djojohadikusumo. Suara.com/Bimo Aria Fundrika)

Ia menyebut keputusan tersebut tak bisa dilepaskan dari prioritas pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi minimal 8 persen pada 2029, target yang menurutnya sulit tercapai jika Indonesia menghentikan penggunaan energi fosil secara total.

“Selama pertumbuhan 8 persen masih jadi prioritas nasional, sangat sulit menurunkan emisi secara signifikan dalam jangka pendek,” kata Hasyim.

Menurutnya, pembangunan perumahan, perluasan program bantuan sosial, hingga hilirisasi nikel dan aluminium memang menggerakkan ekonomi, tetapi juga meningkatkan kebutuhan energi dan aktivitas logistik, yang otomatis mendorong emisi.

Hasyim mengatakan bahwa emisi Indonesia diprediksi masih meningkat hingga 2029 akibat percepatan pembangunan infrastruktur dan industri.

“Tapi mulai 2030–2032, ketika proyek energi bersih PLN dan swasta mulai masuk jaringan, tren emisi akan turun,” ujarnya. Ia mengatakan ada sekitar 70 GW proyek energi bersih dalam pipeline nasional.

Secara terpisah, sejumlah organisasi lingkungan dan pengamat kebijakan iklim, juga menyoroti dan mengkritik sikap Indonesia saat gelaran COP30. 

Baca Juga: Saat 'Luka Bakar' Gambut Sumatra Selatan Coba Disembuhkan Lewat Solusi Alam

Direktur Eksekutif Auriga Nusantara, Timer Manurung, menilai posisi Indonesia “tidak menunjukkan kepemimpinan negara besar”.

“Indonesia hanya mengekor. Tidak mendorong transisi energi, tidak menekan deforestasi. Diplomasi kita lemah. Kita hadir di COP30 bukan karena kinerja iklim, tapi karena punya hutan tropis,” katanya.

Dari CELIOS, Direktur Sosio-Bioeconomy Fiorentina Refani menyebut posisi Indonesia di COP30 “bertolak belakang dengan urgensi krisis iklim”.

Ia menyoroti predikat Fossil of the Day yang disematkan kepada Indonesia karena membawa delegasi dan pelobi fosil terbanyak.

“Itu bukti komitmen Indonesia terhadap transisi energi masih jauh dari memadai,” tegasnya.

Fiorentina juga menilai pemerintah terlalu agresif menjadikan COP30 sebagai ajang perdagangan karbon dengan target transaksi Rp16 triliun melalui sesi seller meet buyer setiap hari.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI