Jakarta Disebut Sebagai Kota Terpadat di Dunia, Bagaimana Agar Tetap Nyaman Dihuni?

Rabu, 03 Desember 2025 | 20:08 WIB
Jakarta Disebut Sebagai Kota Terpadat di Dunia, Bagaimana Agar Tetap Nyaman Dihuni?
Ilustrasi Jakarta kota terpadat di dunia. (Suara.com)
Baca 10 detik
  • PBB menobatkan Jakarta sebagai kota terpadat dunia pada 18 November 2025, dengan hampir 42 juta jiwa berdasarkan metode DEURB baru.
  • Kepadatan Jakarta terbukti dari kerugian ekonomi kemacetan Rp100 triliun per tahun dan hanya 61% penduduk terlayani air bersih.
  • Pemprov DKI mengatasi kepadatan melalui pengembangan transportasi massal terpadu dan pemanfaatan teknologi Jakarta Smart City.

Suara.com - Pagi di Jakarta selalu dimulai dengan bunyi-bunyian yang memekakkan telinga: dering alarm, klakson yang saling sahut, dan napas panjang warga yang sudah pasrah sebelum matahari terbit.

Di kota yang seakan terus tumbuh tanpa jeda ini, orang-orang berjalan cepat, seakan kalau melambat sedikit saja, kota akan menelan mereka.

Jadi, ketika PBB tiba-tiba menobatkan Jakarta sebagai kota terpadat di dunia, banyak warga hanya terkekeh—bukan karena terkejut, tetapi karena kenyataan itu sudah mereka rasakan di trotoar, di stasiun, di antrean air, dan di lewatnya angin yang sering terasa lebih panas dari biasanya.

Di balik gedung-gedung tinggi yang memantulkan cahaya kota, ada jutaan cerita tentang bagaimana orang-orang berusaha tetap nyaman hidup di tempat yang tak pernah benar-benar memberi ruang untuk berhenti.

Pun pengamat tata kota M. Azis Muslim, sambil tertawa menyebut kalau isu kenyamanan tinggal di Jakarta jadi pertanyaan yang gampang sekaligus susah dijelaskan.

PBB Sebut Jakarta Jadi Kota Terpadat Dunia

Laporan terbaru PBB yang dirilis 18 November 2025 sebut bahwa Jakarta resmi menjadi kota dengan penduduk terbanyak di dunia, mencapai hampir 42 juta jiwa.

Kemunculan angka ini dipicu perubahan total PBB dalam mendefinisikan sebuah “kota” mulai tahun 2025.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, PBB membuang seluruh definisi nasional yang selama ini dipakai tiap negara. 

Baca Juga: Masalah Rumput JIS Tak Kunjung Usai, Erick Thohir: Itu Aset Pemda DKI

Mulai 2025, semua kota di dunia diukur dengan satu standar global yang sama bernama Degree of Urbanization (DEURB).

PBB menggunakan grid 1 km × 1 km dari citra satelit dan data kepadatan penduduk. Jika satu kotak memiliki minimal 1.500 jiwa/km² dan bersebelahan dengan kotak serupa, maka otomatis masuk wilayah “kota”. 

Hasilnya adalah wilayah metropolitan yang benar-benar menyatu (built-up area), bukan batas administrasi.

Kebingungan Pemprov DKI Jakarta

Pemprov DKI Jakarta sempat bingung dengan rilis data terbaru PBB terkait kota terpadat.

Wakil Gubernur DKI Jakarta, Rano Karno mengatakan, lonjakan angka hingga puluhan juta jiwa itu sangat berbeda jauh dengan data resmi demografi milik pemerintah daerah saat ini. 

"Data BPS kami kan, Jakarta itu 11 juta," paparnya belum lama ini.

Angka fantastis tersebut ternyata memang muncul karena metode penghitungan wilayah aglomerasi yang baru diterapkan PBB.

"Dihitung dari ini kan, Depok, Bekasi, kemudian Bogor," jelas Rano lagi.

PBB Sebut Jakarta Kota Terpadat di Dunia. (Suara.com/Aldie)
PBB Sebut Jakarta Kota Terpadat di Dunia. (Suara.com/Aldie)

Tapi, Suka Tidak Suka, Jakarta Memang Padat Penduduk

Terlepas dari jumlah penduduk Jakarta yang jauh dari penghitungan data PBB, nyatanya wilayah ibu kota tetap tergolong padat.

Hal itu sangat terlihat dari keseharian warga Jakarta, yang sebegitu sulitnya lepas dari masalah kemacetan.

Bahkan sempat terucap dari Rano Karno sendiri medio Agustus 2025, kerugian ekonomi akibat kemacetan di Jakarta diperkirakan mencapai Rp100 triliun per tahun.

"Setara dengan 4 persen PDB Jabodetabek, atau 6 kali biaya pembangunan MRT fase pertama senilai Rp16 triliun," tuturnya.

Tingkat kepadatan Jakarta terlihat juga dari beban kebutuhan air bersih yang mencapai sekitar 43 ribu meter kubik per hari.

Hingga kini, hanya sekitar 61 persen penduduk Jakarta yang terlayani kebutuhan air bersih.

Sisanya, lebih dari 4 juta orang, bergantung pada pasokan air dari sumur bor, air tanah, atau tangki air yang harganya mahal dan kualitasnya sering tidak terjamin atau steril.

Yang tidak kalah penting, kualitas buruk udara hasil kombinasi emisi dari kendaraan bermotor dan industri ikut jadi cerminan tingkat kepadatan Jakarta.

Bahkan saat berita ini ditulis, data Indeks Kualitas Udara di Jakarta tercatat di angka 131, yang sudah masuk kategori tidak sehat bagi kelompok sensitif.

Solusi Atasi Kepadatan Penduduk?

Pemprov DKI Jakarta bukan tanpa solusi untuk mengatasi kepadatan penduduk di wilayah mereka.

Dimulai dari pengentasan kemacetan lewat pengembangan infrastruktur transportasi massal seperti MRT, LRT, dan Transjakarta, integrasi sistem transportasi yang terpadu melalui program seperti TOD (Transit Oriented Development) dan Jaklingko, serta penerapan kebijakan pembatasan kendaraan pribadi seperti sistem ganjil-genap dan pembatasan kepemilikan kendaraan.

Hal itu turut mempengaruhi layanan Commuter Line Jakarta, yang mengalami peningkatan jumlah pengguna harian meski pola mobilitasnya lebih berorientasi pada integrasi antarmoda di stasiun-stasiun transit seperti Manggarai dan Tanah Abang.

"Per hari paling cuma keluar duit Rp15 ribu. Kalau pakai kendaraan, bisa gocap (Rp50 ribu) buat dua hari doang," ujar Fakhri, salah satu pengguna layanan Commuter Line dari jalur Bogor kepada Suara.com, Rabu (3/12/2025).

Ada juga pengembangan Jakarta Smart City, yang mencakup aplikasi dan platform digital terintegrasi seperti JAKI dan JakLingKo, implementasi infrastruktur canggih seperti Smart Pole 5G, dan penggunaan teknologi AI untuk layanan publik. 

Lewat pemanfaatan teknologi, Pemprov dapat secara langsung mendeteksi kepadatan lalu lintas, tingkat polusi udara, tingkat kebisingan, suhu, hingga pengelolaan sumber daya air sebagai langkah mitigasi banjir.

Tapi, Upaya Pemprov Belum Sepenuhnya Selesaikan Masalah

Tidak bisa dipungkiri, upaya Pemprov DKI untuk mencari solusi dalam mengatasi masalah kepadatan penduduk memang belum sepenuhnya teratasi.

Contohnya seperti pengembangan infrastruktur transportasi massal yang belum sepenuhnya menjangkau wilayah perumahan.

"Integrasi ke transumnya kebanyakan masih harus pakai ojol," keluh Hana, pengguna layanan transportasi umum yang lain kepada Suara.com.

Hal itu terkadang membuat para pengguna jasa transportasi umum jadi sulit memprediksi waktu tempuh mereka ke titik tujuan.

"Jadi ya meringankan, tapi ada beratnya juga," sambung Hana.

Lalu, Bagaimana Agar Tetap Nyaman Tinggal di Jakarta?

Pengamat Tata Kota, M. Azis Muslim, menyoroti tantangan besar untuk menjaga kenyamanan hunian di tengah kepadatan metropolitan tersebut agar tidak menggerus kualitas hidup warganya.

"Memang ini pertanyaan yang jawabannya gampang-gampang susah ya," kata Azis sambil tertawa kepada Suara.com.

Salah satu langkah krusial yang harus segera dimaksimalkan tentunya berkaitan dengan pengembangan sistem transportasi publik yang terpadu, untuk menekan waktu tempuh pekerja.

Tak lupa, penerapan teknologi mutakhir dalam manajemen lalu lintas pun dinilai sangat efektif untuk mengurai kepadatan di jalan raya secara proporsional.

"Itu sudah sedikit banyak mengurangi kemacetan, dan juga bisa mengatasi permasalahan polusi udara," papar Azis.

Ketersediaan ruang terbuka hijau di tengah pemukiman sebagai paru-paru kota sekaligus sarana interaksi sosial juga dinilai penting untuk membuat lingkungan semakin hidup.

Terakhir, penataan kawasan kumuh melalui relokasi yang memanusiakan manusia harus menjadi prioritas pemerintah daerah dalam merias wajah kota.

"Jadi, tetap menjaga keberlangsungan dan berkelanjutan hidup," tutup Azis.

Pada akhirnya, meski jumlah penduduk Jakarta mungkin tak pernah benar-benar menyentuh 42 juta jiwa seperti yang terpampang dalam laporan PBB, namun kepadatan, kemacetan, hingga kualitas udara yang menguras napas adalah kenyataan sehari-hari yang tak bisa disangkal.

Dan di tengah semua itu, upaya menjaga kenyamanan hidup di Jakarta bukan soal mengejar angka, melainkan memastikan kota ini tetap memberi ruang untuk bernapas, bergerak, dan merasa layak ditinggali.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI