HAM Indonesia Alami Erosi Terparah Sejak Reformasi, 2025 Jadi Tahun Malapetaka

Senin, 29 Desember 2025 | 16:22 WIB
HAM Indonesia Alami Erosi Terparah Sejak Reformasi, 2025 Jadi Tahun Malapetaka
ILUSTRASI - Tindakan represif aparat kepolisian menambaki warga karena menolak penggusuran di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, 7 September 2023. [Dok. Istimewa]
Baca 10 detik
  • Amnesty Internasional Indonesia menyatakan 2025 adalah kemunduran terparah HAM karena kebijakan ekonomi pro-deforestasi dan penolakan partisipasi publik.
  • Sepanjang 2025, terjadi maraknya pelanggaran hak sipil dan politik, ditandai penangkapan sewenang-wenang terhadap 5.538 demonstran.
  • Negara bersikap represif terhadap kritik, terbukti dari serangan terhadap 283 pembela HAM serta perluasan peran militer melalui revisi UU TNI.

Suara.com - Amnesty Internasional Indonesia menyebut, tahun 2025 merupakan malapetaka bagi Hak Asasi Manusia (HAM).

Sejak bulan Januari hingga Desember 2025, situasi HAM Indonesia mengalami erosi yang paling parah sejak era reformasi.

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, mengatakan Indonesia semakin mundur dalam bidang HAM akibat kebijakan yang memprioritaskan ekonomi, bahkan hingga berbasis deforestasi, yang merampas ruang hidup masyarakat adat dan menolak partisipasi warga yang bermakna.

Sepanjang tahun, malapetaka juga ditandai oleh maraknya pelanggaran hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, termasuk efisiensi anggaran yang mengganggu ekonomi masyarakat.

Situasi ini, lanjut Usman, merupakan akibat dari berbagai penyalahgunaan kekuasaan dan kebijakan yang menjauhkan Indonesia dari cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.

“Tahun ini pun ditutup oleh buruknya reaksi penanganan bencana ekologis di Sumatra yang mempertontonkan ketidakmampuan pemerintah menghadapi krisis kemanusiaan, bahkan mencerminkan watak represif seperti terlihat dalam kekerasan militer di Aceh baru-baru ini,” kata Usman dalam catatan akhir tahun, Senin (29/12/2025).

Saat ada protes, kata Usman, para pejabat negara bukannya fokus menyerap aspirasi dan menyelamatkan warga, malah jalan terus dengan kebijakannya, mengabaikan partisipasi bermakna, melontarkan pernyataan gegabah, serta melakukan penangkapan dan penahanan massal.

Usman mengatakan negara dianggap gagal menjalankan fungsi konstitusionalnya, baik dalam kondisi normal maupun krisis, serta mengabaikan kewajibannya melindungi hak asasi manusia.

Tahun ini penuh kekerasan negara, ketimpangan sosial, dan kebijakan pro-deforestasi yang mengorbankan rakyat.

Baca Juga: Datang Nonton Bola, Pulang Masuk Bui? Ancaman Mengerikan di Piala Dunia 2026

“Malapetaka ini adalah akibat pemerintah saat ini yang anti-kritik, senang melontarkan narasi kontroversial, dan membungkam aspirasi yang berkembang di masyarakat,” tegas Usman.

Merebaknya Kekerasan
Sepanjang tahun 2025, negara juga mempertontonkan sikap anti-kritik atas berbagai gelombang protes terkait revisi UU TNI, hak buruh, PSN, dan tunjangan DPR sejak Maret, Mei, hingga Agustus 2025.

Alih-alih berdialog dan menyelesaikan masalah rakyat seperti PHK massal, efek kebijakan efisiensi, dan melesunya ekonomi, negara justru meremehkan partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan dan akibatnya aparat bersikap represif.

Kebijakan yang dianggap paling bermasalah tahun ini ialah kenaikan pajak awal tahun, pengesahan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) pada akhir kuartal pertama, hingga Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) saat memasuki kuartal akhir tahun.

Banyak pasal dalam KUHAP yang baru dinilai berpotensi menjustifikasi pelanggaran hak-hak warga dan membuka celah penyalahgunaan kewenangan penegak hukum.

“Watak otoriter pemerintah dan DPR terlihat dalam proses penyusunan kebijakan yang tanpa hikmah musyawarah seperti RUU TNI dan RKUHAP ini. Yang lebih mengerikan ke depan adalah implementasi dari KUHAP baru ini yang mengancam hak asasi manusia,” tutur Usman.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI