HAM Indonesia Alami Erosi Terparah Sejak Reformasi, 2025 Jadi Tahun Malapetaka

Senin, 29 Desember 2025 | 16:22 WIB
HAM Indonesia Alami Erosi Terparah Sejak Reformasi, 2025 Jadi Tahun Malapetaka
ILUSTRASI - Tindakan represif aparat kepolisian menambaki warga karena menolak penggusuran di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, 7 September 2023. [Dok. Istimewa]
Baca 10 detik
  • Amnesty Internasional Indonesia menyatakan 2025 adalah kemunduran terparah HAM karena kebijakan ekonomi pro-deforestasi dan penolakan partisipasi publik.
  • Sepanjang 2025, terjadi maraknya pelanggaran hak sipil dan politik, ditandai penangkapan sewenang-wenang terhadap 5.538 demonstran.
  • Negara bersikap represif terhadap kritik, terbukti dari serangan terhadap 283 pembela HAM serta perluasan peran militer melalui revisi UU TNI.

Jika tidak dikoreksi, lanjut Usman, bukan tidak mungkin ke depan akan semakin marak penangkapan sewenang-wenang dan upaya paksa lainnya.

“Tahun ini saja, 5.538 orang ditangkap secara sewenang-wenang, disiksa, dan terkena gas air mata hanya karena berdemonstrasi,” jelas Usman.

Bahkan Amnesty Internasional Indonesia mengidentifikasi penggunaan granat gas air mata yang mengandung bahan peledak dan dapat mengakibatkan cacat permanen saat aksi demonstrasi pada akhir Agustus 2025.

Bukannya melakukan koreksi, Kapolri malah menerbitkan Perkapolri 4/2025 yang melonggarkan aturan penggunaan senjata api.

Alih-alih membentuk Tim Pencari Fakta dan melepaskan warga yang ditangkap, negara justru memproduksi stigma ‘anarkis’, ‘penghasut’, dan ‘teroris’ terhadap para demonstran, serta mengadili Delpedro, Muzaffar, Syahdan Husein, dan Khariq Anhar.

“Ini taktik klasik meredam kritik. Mereka yang bersuara kritis dipenjarakan dan disalahkan atas kerusuhan akhir Agustus, sementara negara gagal mengusut siapa sesungguhnya pelaku kerusuhan tersebut,” ucap Usman.

Tak berhenti di situ, represi terus berlanjut secara sistematis terhadap aktivis dan pembela HAM.

Amnesty Internasional Indonesia mencatat sebanyak 283 pembela HAM mengalami serangan karena kerja-kerja mereka selama 2025, seperti kriminalisasi, penangkapan, pelaporan ke polisi, dan percobaan pembunuhan.

Mayoritas pembela HAM yang mengalami serangan adalah jurnalis dan masyarakat adat, masing-masing sebanyak 106 dan 74 orang.

Baca Juga: Datang Nonton Bola, Pulang Masuk Bui? Ancaman Mengerikan di Piala Dunia 2026

Kasus-kasus yang terjadi menjelang penghujung tahun menunjukkan pola yang sama, ditandai dengan serangan terhadap 33 orang masyarakat adat Sihaporas, Simalungun, yang melukai 18 perempuan, 15 laki-laki, serta anak penyandang disabilitas pada September lalu.

Kemudian penangkapan dua aktivis Walhi dan Kamisan, Adetya Pramandira dan Fathul Munif, pada November silam.

Selanjutnya, penangkapan Ketua Adat Dusun Lelayang, Tarsisius Fendy Sesupi, usai mengkritik deforestasi dan kegiatan korporasi di Kalimantan Barat pada Desember 2025.

Aksi kekerasan aparat dan pejabat juga ditandai dengan adanya larangan bedah buku Reset Indonesia di Desa Gunungsari, Madiun, Jawa Timur, pada Sabtu (20/12/2025).

“Mereka yang lantang membela lingkungan dan tanah ulayat dibungkam lewat intimidasi dan kriminalisasi. Ini adalah upaya sistematis untuk menutupi kegagalan negara dalam mengelola kekayaan alam berlandaskan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya,” beber Usman.

Kondisi semakin kelam dengan ditetapkannya Presiden ke-2 RI, Soeharto, sebagai pahlawan nasional serta penulisan ulang sejarah nasional.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI