Suara.com - Era insentif besar untuk mobil listrik berbasis baterai (BEV) yang diimpor secara utuh (CBU) dipastikan akan berakhir pada 31 Desember 2025. Pemerintah menegaskan belum ada rencana untuk memperpanjang kebijakan yang selama ini memberikan diskon pajak hingga 65% bagi para importir.
Keputusan ini merujuk pada Peraturan Menteri Investasi Nomor 6 Tahun 2023 jo. Nomor 1 Tahun 2024, yang memberikan pembebasan Bea Masuk (BM) dari 50% menjadi 0% dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dari 15% menjadi 0%.
Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan (ILMATAP) Kemenperin, Mahardi Tunggul Wicaksono, menegaskan bahwa hingga saat ini belum ada pembahasan antar-kementerian untuk melanjutkan program tersebut.
“Artinya, bisa kita bilang insentif BEV impor akan berakhir pada akhir 2025, sesuai regulasi yang ada,” ujar Tunggul dalam diskusi di Jakarta, baru-baru ini, Selasa (26 Agustus 2025).
Meski program ini sukses meningkatkan populasi kendaraan listrik secara signifikan, dengan pangsa pasar BEV melonjak dari 0,08% pada 2021 menjadi 9,7% pada Juli 2025, dampaknya terhadap industri lokal menjadi sorotan tajam.
Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mengungkapkan bahwa serbuan mobil listrik impor telah menekan kinerja industri yang sudah lama eksis. Utilisasi pabrik mobil nasional tercatat turun drastis dari 73% menjadi hanya 55% tahun ini.
Sekretaris Umum Gaikindo, Kukuh Kumara, menyatakan bahwa kehadiran BEV impor mengganggu keseimbangan industri dan menekan produksi mobil dalam negeri yang memiliki Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) tinggi.
“Banyak perusahaan komponen juga mengeluh, karena suplai ke pabrikan kurang. Untung mereka masih ada ekspor, sehingga masih bisa berjalan, tetapi ada sebagian yang sudah melakukan PHK,” tegas dia.
Kalangan akademisi juga mendukung penghentian insentif ini. Peneliti LPEM UI, Riyanto, menilai kebijakan ini tidak adil bagi perusahaan yang telah berinvestasi dan membangun pabrik di Indonesia. Menurutnya, insentif ini hanya menguntungkan sektor perdagangan dan bukan manufaktur yang memiliki nilai tambah lebih tinggi.
Baca Juga: Bukan Cuma BYD, Ini 'Tsunami' Mobil Listrik Murah Gelombang Kedua dari China
“Jika insentif ini diperpanjang, akan menimbulkan ketidakadilan dan ketidakkonsistenan kebijakan, kredibilitas kebijakan menurun, menggangu iklim investasi dan tidak sesuai dengan tujuan awal menjadikan Indonesia sebagai basis produksi BEV,” kata dia.
“Seharusnya insentif BEV CBU tidak diperpanjang, agar Indonesia tidak hanya menjadi pasar, tetapi juga menjadi pusat produksi BEV,” pungkas Riyanto.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), peserta skema investasi CBU dengan komitmen investasi adalah BYD, Aion, Maxus, Vinfast, Geely, Citroen, VW, Xpeng, dan Ora. Lalu, peserta skema produksi sesuai TKDN antara lain Wuling, Chery, Aion, Hyundai, MG, dan Citroen.