Menggunakan mobilisasi militan untuk mendapat status, seperti di Jawa Barat, akan sia-sia.
Lebih lagi, karena mereka punya institusi kuat di bawahnya, kiai lokal merasa lebih mudah - atau berdampak tidak buruk dalam hal reputasi mereka - untuk secara terbuka menentang dan menghalangi aktivitas kelompok militan.
Menariknya, banyak kiai di Jawa Timur menentang kelompok militan lebih karena takut kalah dari pemimpin baru yang muncul, ketimbang karena mereka menentang tujuan kelompok militan.
Apa yang harus dilakukan negara?
Kesimpulannya, struktur lokal otoritas agama - ketimbang perbedaan politik atau gagasan - menjadi alasan sukses-gagalnya kelompok militan di Jawa.
Di daerah yang otoritas agamanya kuat, kelompok militan tidak bisa mengakar. Di daerah yang otoritas agamanya lemah dan kompetitif, kelompok militan berkembang pesat.
Poin penting yang dapat diambil adalah pemerintah harus hati-hati dalam mengurangi pengaruh otoritas keagamaan pada era demokrasi.
Pemerintah harus menghindari pemberian ruang berlebih yang memunculkan kompetisi antarelite agama - di Majelis Ulama Indonesia misalnya - yang meningkatkan insentif untuk melakukan mobilisasi militan.
Artikel ini sudah tayang di The Conversation.
Baca Juga: Sentil Gus Nur, Politikus PKB: Ngaji Tak Bisa, Apa Layak Disebut Ulama?