“Pemerintah harus membuat moratorium substansial, bukan moratorium politik–demi menghadapi desakan Eropa,” tutur dia.
Pembenahan berisiko terganjal UU Cipta Kerja
Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Adrianus Eryan, pesimistis kebijakan moratorium sawit bakal berlanjut. Pasalnya, sejumlah muatan kebijakan itu berseberangan dengan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Adrianus mencontohkan, kebijakan penundaan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit justru berlawanan dengan revisi Pasal 110A dan Pasal 110B Undang Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Pasal 110A mengatur setiap kegiatan yang tumpang tindih dalam kawasan hutan masih dibolehkan beroperasi selama menyetor sejumlah uang ke negara.
Sedangkan Pasal 110B mengatur kegiatan tak berizin di dalam kawasan hutan dapat dilegalkan. Pelanggar hukumnya hanya dikenai sanksi administratif.
“Jadi besar kemungkinan tak akan diperpanjang,” kata Adrianus.
Dia menyayangkan adanya aturan baru justru berlawanan dengan semangat pembenahan tata kelola perkebunan sawit yang digagas pemerintah sejak beberapa tahun lalu. Menurut Adrianus, Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2018 adalah satu-satunya dasar hukum yang menjadi pagar pengaman kawasan hutan alam Indonesia dari ekspansi perkebunan sawit.
Jika kebijakan ini berhenti, Adrianus menyatakan deforestasi akibat ekspansi perkebunan lebih berisiko terjadi. Risiko tersebut justru dapat mengganggu komitmen pemerintah untuk mencapai kondisi bebas emisi dari sektor kehutanan dan lahan pada 2030.
Artikel ini tayang sebelumnya di The Conversation.
Baca Juga: Dirjenbun Kementan Gelar Sosialisasi Penelitian dan Pengembangan Kelapa Sawit