Darmaningtyas dan PR Dunia Pendidikan untuk Dua Calon Presiden

Selasa, 19 Maret 2019 | 14:50 WIB
Darmaningtyas dan PR Dunia Pendidikan untuk Dua Calon Presiden
Pengamat Pendidikan Dharmaningtyas
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Darmaningtyas sendiri, sudah sejak lama dikenal sebagai tokoh yang memperjuangkan sistem pendidikan gratis, ilmiah, dan bervisi kerakyatan.

Sebagai tokoh yang dikenal pakar pendidikan nasional, Darmaningtyas mengawali kariernya sebagai guru honorer di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul pada tahun 1982.

Di SMP Binamuda itu mulai tahun 1986, dia membuat eksperimen dengan mengembangkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).

Darmaningtyas juga pernah menjadi pengurus Majelis Luhur Taman Siswa. Sementara di ranah advokasi, ia merupakan salah satu motor penolak Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, serta yang mengajukan uji materi kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional di Mahkamah Konstitusi.

Selain itu, Darmaningtyas menyumbang pemikirannya mengenai pendidikan melalui banyak buku di antaranya, Pendidikan pada dan Paska Krisis (Pustaka Pelajar, 1999); Pendidikan yang Memiskinkan (Galang Press, 2004); Pendidikan Rusak-rusakan (LKIS, 2005); serta, Utang dan Korupsi Racun Pendidikan (2008).

Berikut hasil lengkap wawancara Suara.com dengan Darmaningtyas:

Menurut Anda, bagaimana wajah pendidikan Indonesia saat ini?

Untuk melakukan penilaian, saya selalu mengatakan harus dibedakan secara geografis, yakni perkotaan dan perdesaan.

Kalau misalnya bicara pendidikan yang ada di perkotaan, contohnya di Jawa, kualitasnya setara dengan di negara maju.

Baca Juga: Makan Cokelat Setelah Mie Goreng Bikin Meninggal, Hoaks atau Fakta?

Buktinya apa? Anak lulusan SMP atau SMA di Indonesia bisa melanjutkan pendidikan di Singapura, Australia, Amerika Serikat, Inggris dan dengan hasil yang baik pula. Itu kan artinya kualitas pendidikan kita baik. Tapi sekali lagi, ini yang ada di perkotaan.

Sementara di wilayah perdesaan, kualitas pendidikannya jauh di bawah perkotaan. Di sekolah-sekolah perdesaan, ada yang gurunya hanya datang sekali dalam seminggu. Atau ada pula yang diajar oleh 2 atau 3 orang guru.

Jadi, saya selalu konsisten untuk tidak mengatakan kondisi pendidikan kita ini tunggal, tapi beragam.

Bahkan di perkotaan juga ada perbedaan. Misalnya, di Jakarta, sekolah-sekolah yang berlabel favorit, kualitasnya sama seperti sekolah di Eropa, AS, Australia, atau Singapura.

Tapi di wilayah pinggiran Jakarta, kualitas pendidikannya jauh dari pusat. Jadi, kita tidak bisa mengatakan kualitas pendidikan Indonesia itu secara tunggal.

Kalau dihitung  sebagai satu negara, bagaimana kondisi pendidikan di Indonesia?

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI