Sirojudin Abbas (SMRC): Sekitar 134 Juta Warga Kondisi Ekonominya Menurun

Rabu, 22 April 2020 | 11:23 WIB
Sirojudin Abbas (SMRC): Sekitar 134 Juta Warga Kondisi Ekonominya Menurun
Direktur Eksekutif SMRC, Sirojudin Abbas. [Dok. pribadi]

Mungkin ini pula salah satu faktor penyebab sebagian warga tidak senang pemerintah memberlakukan sanksi atau hukuman bagi warga yang melanggar aturan PSBB.

Polisi lalulintas beserta Dinas Perhubungan (Dishub) memeriksa pengendara sepeda motor saat melaksanakan pengawasan dalam penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di jalan perbatasan Depok-Jakarta, Jumat (10/4).
Polisi lalu lintas beserta Dinas Perhubungan (Dishub) memeriksa pengendara sepeda motor saat melaksanakan pengawasan dalam penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di jalan perbatasan Depok-Jakarta, Jumat (10/4/2020). [Suara.com]

Langkah taktis apa yang perlu dilakukan pemerintah dalam situasi saat ini, di tengah keterpurukan ekonomi, khususnya yang paling merasakan dampaknya masyarakat kelas menengah bawah berpenghasilan harian?

Bagi kelompok pekerja sektor informal dan buruh harian, kebijakan bantuan sosial sementara mungkin sedikit membantu. Tetapi fungsinya sebagai "bantalan" agar warga yang jatuh secara ekonomi tidak benar-benar menyentuh dasar terendah. Sejalan dengan itu, pemerintah juga perlu memikirkan penyiapan skema bantuan permodalan bagi mereka untuk memulai kembali kegiatan usaha. Besar kemungkinan, selama masa penjarakan sosial atau PSBB, mereka sudah menghabiskan modal kerja untuk menutupi kebutuhan konsumsi rumah tangga.

Mereka yang memperoleh bantuan sosial dalam bentuk makanan, sekaligus juga perlu dibantu cadangan modal usahanya untuk digunakan nanti setelah masa pandemi selesai. Jika memungkinkan, bantuan modal diberikan dalam beberapa skema. Misalnya, hibah untuk modal di Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta. Di atas itu, baru berlaku model pinjaman dengan bunga rendah.

Pengawasan pelaksanaan program bantuan sosial juga harus benar-benar ketat. Perlu lembaga independen yang mengevaluasi program ini. Pengawasan perlu dilakukan pada tiga aspek. Pertama, ketepatan data warga penerima; kedua, ketepatan jumlah bantuan; ketiga, ketepatan penerimaan bantuan.

Terkait kegiatan keagamaan, masih banyak warga yang tak setuju dilakukan di rumah, paling banyak di Jawa Barat. Hal ini karena faktor apa, dan bagaimana solusinya?

Salah satu faktor terpenting adalah informasi. Penting diingat, Jawa Barat itu luas dan penduduknya besar. Sangat boleh jadi, masih banyak warga Jawa Barat, termasuk pemuka agama Islam, belum memahami alasan, tujuan, dan manfaat kebijakan penjarakan sosial. Dalam situasi seperti ini, otoritas keagamaan seperti Kementerian Agama, Majelis Ulama Indonesia dan pimpinan organisasi-organisasi kemasyarakatan Islam, perlu diajak terlibat lebih jauh dalam sosialisasi kebijakan.

Bahasa yang digunakan juga perlu diperhatikan. Sosialisasi kebijakan yang terkait langsung dengan kegiatan ibadah (salat Jumat, Tarawih atau salat Idul Fitri) harus dilakukan dengan bahasa dan logika keagamaan juga. Bahasa kebijakan pasti tidak akan memadai. Sejauh para tokoh-tokoh agama tidak memahami kebijakan dari sudut pandang bahasa dan logika keagamaan, dapat dipastikan kebijakan tersebut tidak bisa jalan sesuai harapan.

Infografis populari berisiko kena corona. (Suara.com/Ema)
Infografis populasi warga berisiko kena corona. (Suara.com/Ema)

Sebentar lagi masuk Ramadan, diriingi Lebaran dan momen orang-orang mudik. Dari survei SMRC secara nasional, masih ada 11% warga yang ingin mudik. Bagaimana solusinya? Sementara pemerintah tidak tegas melarang warga yang mudik (sebelum pernyataan terbaru Jokowi -Red).

Baca Juga: 1 Toilet Per 1.230 Orang, Pemukiman Kumuh Ini Jadi Sasaran Empuk Corona

Mudik ini adalah kegiatan yang berakar kuat di dalam kebudayaan kita. Ini telah menjadi semacam identitas Muslim Indonesia yang khas. Jadi wajar, jika masih ada sekitar 11% atau sekitar 20 juta warga yang akan mudik pada Lebaran tahun ini. Tentu saja mereka juga memahami soal wabah Covid-19 dan pentingnya penjarakan sosial.

Jika pemerintah hanya mengeluarkan imbauan untuk tidak mudik, kemungkinan masih cukup besar jumlah warga yang tetap mudik. Sebaliknya, jika dilarang dengan tegas, besar kemungkinan yang memaksa mudik akan lebih sedikit. Kebijakan pelarangan mungkin akan kontroversial, perlu diperhitungkan dengan baik. Tapi, setidaknya, pemerintah perlu mempertimbangkan menambah bobot aturan PSBB khusus terkait mudik. Perhatian khusus perlu diberikan pada wilayah Jabodetabek. Sebab, jumlah warga yang akan mudik dari wilayah ini sangat besar. Kebetulan semua wilayah tersebut sudah memberlakukan PSBB.

Dokter dan tenaga kesehatan yang terpapar Covid-19 terus meningkat jumlahnya, tak sedikit yang meninggal. Bantuan dari pemerintah tampak kurang, yang paling kecil terlihat dari APD yang kurang di berbagai faskes. Apa permasalahannya menurut Anda? Lemahnya koordinasi pemerintah atau bagaimana?

Pandemi Covid-19 ini terjadi secara global. Semua negara membutuhkan APD dan alat tes, tapi yang memproduksi tidak banyak. Jadi bisa dipahami jika barang-barang tersebut kini jadi komoditas langka. Maka, kompetisi antar negara untuk mendapatkan barang-barang tersebut sesuai jumlah yang dibutuhkan sangat keras. Akibatnya, harga menjadi tidak terkendali dan memberatkan. Hemat saya, langkah pemerintah untuk mendorong industri lokal memproduksi APD sangat tepat. Itu salah satu solusi yang layak didukung.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI