- CEO GMF AeroAsia Andi Fahrurrozi membocorkan rencana perusahaan untuk melebarkan sayap ke Timur Tengah
- SDM yang dibajak perusahaan Timur Tengah diakui membuat perusahaan kewalahan
- Beberkan rencana besar untuk membangun Aerospace Park, di tengah berkah cuan bisnis "bengkel pesawat"
Suara.com - Bisnis bengkel pesawat terbang di Indonesia sedang cuan-cuannya, karena industri penerbangan di Tanah Air mulai pulih setelah sempat keok di masa pandemi Covid-19 lalu.
CEO GMF AeroAsia Andi Fahrurrozi, yang berbicara secara eksklusif dengan Suara.com dalam Podcast Executive Talk baru-baru ini mengatakan sebagai salah satu penyedia jasa maintenance, repair and overhaul (MRO) terbesar di Tanah Air kini sedang ketiban berkah, karena banyaknya pesawat dari berbagai masapai yang harus menjalani perawatan.
Ia mengatakan hampir 30 persen armada pesawat dari semua maskapai penerbangan di Indonesia belum bisa terbang alias di-grounded karena masih antre untuk diservis.
Sayangnya di saat yang sama salah satu BUMN itu harus berjuang dengan masalah SDM, karena banyak engineer yang dibajak oleh perusahaan asing di luar negeri. Belum lagi anak usaha Garuda Indonesia itu sebentar lagi akan mengembangkan bisnisnya hingga ke Timur Tengah.
Berikut adalah petikan wawancara Andi Fahrurrozi dengan Ria Rizki Nirmala Sari dari Suara.com di fasilitas hanggar milik GMF AeroAsia di Cengkareng, Tangerang, Banten:
Selamat Sore.
Sore
Fasilitas ini bisa disebut bengkel enggak sih, Pak?
Betul. Jadi ini bengkelnya pesawat. Bukan cuma Garuda saja, tapi semua maskapai juga.
Baca Juga: Bos Garuda Indonesia Janji 2026 Perusahaan Bisa Untung
Sebelum kita ngomong lebih dalam, kita mau nanya secara umum. Kemarin kita dilanda pandemi. Semuanya ambruk. Nah bisnis penerbangan, setelah pandemi, pasti pulih secara perlahan. Kondisinya sekarang seperti apa?
Waktu pandemi, pesawat banyak yang grounded. Ada yang sudah due maintenance, akhirnya dilewati karena waktu itu ada situasi yang mungkin secara finansial tidak bagus. Ketika sekarang sudah mulai pulih, pesawat-pesawat itu harus dihidupkan kembali.
Itu tantangannya buat airlines, bagaimana mereka bisa menghidupkan itu dengan cepat. Dan biayanya tidak murah. Sementara untuk MRO, ini kebalikannya. Ini menjadi suatu berkah, karena tiba-tiba semua pesawat masuk ke bengkel.
Dan itu penuh di mana-mana. Eggak cuma di Indonesia. Bahkan untuk engine itu, semua MRO di dunia ini penuh. Jadi antriannya panjang. Itulah yang menyebabkan sekarang pesawat di Indonesia itu belum pulih secara jumlah. Masih banyak pesawat yang grounded. Jadi mungkin, maskapai rata-rata 30 persen masih grounded
Kenapa? Karena mayoritas itu menunggu jadwal masuk untuk maintenance engine-nya. Dan di Indonesia belum banyak yang bisa. Beberapa jenis engine harus dibawa ke luar negeri.
Kalau di GMF kan ada airframe hangar. Hangar ini untuk menghidupkan pesawatnya. Kita juga penuh terus. Dari mulai tahun 2022, hangar itu selalu penuh. Sampai hari ini, karena hari ini saja kita sedang reaktivasi armadanya Citilink. Ada dua unit.
Jadi ada 20 pesawat Citilink yang akan kita hidupkan sampai akhir tahun. Yang tadinya setelah pandemi, banyak yang belum hidup, kita hidupkan kembali. Ini kalau untuk kami, ini berkah.
Jadi penuh hangar kami, penuh. Dan itu bukan hanya satu airline. Beberapa airline sama juga. Mereka masih dalam fase menghidupkan pesawatnya yang masih grounded.
Orang awam belum terlalu mengerti, menghidupkan lagi pesawat maksudnya bagaimana? Antrean ini mulai kapan?
Jadi pesawat itu ada perawatan rutin. Kalau misalnya punya mobil kan ada perawatan rutin per 5.000 km, 10.000 km atau 20.000 km. Biasanya untuk ganti oli dan sebagainya.
Pesawat juga sama. Ada maintenance yang harian, ada yang setiap 750 jam, dan ada C-Check. Nah, C-Check itu harus masuk ke hanggar. Itu mungkin ada yang 2 tahun, ada yang 3 tahun. Ada juga maintenance per 6 tahun dan per 12 tahun.
Ketika pandemi Covid-19, pesawat enggak terbang. Jadwal maintenance tiba. Ada yang sesuai jadwal di kalender kan harus masuk untuk perawatan.
Tapi karena maskapai sudah krisis, akhirnya pesawat didiamkan (tidak menjalani perawatan). Ketika (sekarang finansialnya) sudah sehat, mau terbang lagi, semua maintenance yang tadinya terlewat itu harus dikerjakan. Harus masuk bengkel lagi, dihidupkan lagi sesuai dengan aturannya.
Kan harus comply dengan aturan dari otoritas, baik dari Indonesia ataupun dari FAA (Federal Aviation Administration, otoritas penerbangan sipil Amerika Serikat) dan EASA (European Union Aviation Safety Agency, otoritas keselamatan penerbangan sipil Eropa).
Maintenance programnya harus dijalankan dan itu harus masuk bengkel, sebelum bisa terbang lagi. Kemudian yang terbang pun, ketika masuk ke maintenance rutin ya harus bawa ke bengkel lagi.
Ini sama dengan mobil. Bedanya, kalau mobil kita masih suka bandel. Tapi kalau pesawat tidak bisa. Kalau dia melewatkan perawatan itu, akan diingatkan oleh kementerian perhubungan, ini enggak boleh terbang.
Nah dengan kondisi begitu, berarti bisnis bengkel pesawat menguntungkan sekarang?
Alhamdulillah 3 tahun terakhir ini kami untung terus.
Ada kenaikan profitnya?
Memang kita rugi di 2020-2021 karena pandemi, karena volumenya enggak ada. Tapi di 2022 kita untung 3 juta dolar, kemudian 2023 kita untung 20 juta dolar, tahun lalu 26.9 Dolar.
Jadi kita naik terus dan keuntungan kita sudah kembali seperti sebelum pandemi.
Cepat berarti?
Ada lebih tinggi dari sebelum pandemi.
Sebenarnya tantangannya menjalani bisnis bengkel pesawat apa, Pak?
Mungkin saya sedikit cerita tentang bengkel kita. Jadi kita punya 4 segmen bisnis. Satu line maintenance, yang adanya di apron atau hangar ini.
Jadi pesawat, ketika ada kerusakan yang masih bisa terbang, malamnya bisa masuk ke sini untuk diperbaiki. Sehingga besoknya sudah prima. Atau, yang kita sebut A-Check, yaitu perawatan kecil misalnya 750 jam. Dia harus masuk bengkel dan diinspeksi.
Kemudian di setiap airport kalau liat ada yang mengenakan seragam GMF-GMF itu, mereka termasuk line maintenance. Kita yang merilis pesawat sebelum dia terbang. Orang line maintenance kita yang mengecek dan merilis untuk terbang.
Kedua ada base maintenance. Kita biasa menyebutnya airframe. Jadi pemeriksaan struktur (pesawat). Misalnya setiap dua tahun sekali, pesawat masuk diinspeksi, dikelupas catnya, dicek engine-nya.
Kalau kita lihat di hangar sana, hangar 4 itu kelihatan. Jadi pesawatnya dibongkar habis lah. Itu overhaul.
Emang harus selalu diperbarui, even itu cuma catnya doang?
Ada, tergantung operator punya maintenance program seperti apa. Bisa 5 tahun sekali.
Kemudian yang ketiga, engine. Jadi kalau maintenance mesin, engine-nya bisa dilepas, dibawa ke shop untuk overhaul. Dia bisa sewa engine atau pakai engine lain, dipasang di pesawat, biar bisa terbang.
Nah bedanya dengan mobil, kalau kita servis mesinnya ya sekalian dengan mobilnya. Kalau pesawat engine-nya dilepas, dibawa ke bengkel.
Kita ke belakang, ada workshop engine. Tapi di Indonesia ini mayoritas engine shop memang di luar negeri. Karena banyak yang kita belum punya.
Kemudian yang keempat, komponen. Komponen shop misalnya radarnya rusak. Kita punya workshopnya. Atau apa fuel pump-nya rusak.
Nah tantangannya saat ini memang setelah pandemi tuh supply chain material. Karena pabriknya sendiri kesulitan mendapatkan material atau part-part itu dari supplier-nya.
Karena ketika pandemi banyak yang pabrik bangkrut ya. Pabrik supplier-nya masih bangkrut. Atau orangnya pada resign, dia panggil lagi enggak ada. Nomor satu tantangannya itu. Supply chain, Material.
Nomor dua tantangannya adalah talent war. Kita di Indonesia orangnya banyak. Talent-nya banyak. Kita gampang cari orang di bidang engineering pesawat, karena pendidikan teknik pesawat banyak sekolahnya. Tapi tantangannya adalah dibajak (oleh perusahaan lain).
Talent war?
Jadi orang-orang kita itu diambil sama perusahaan dari Timur Tengah.
Oh iya?
Paling banyak Dubai, Abu Dhabi, dan Qatar. Baru setelah itu Hong Kong. Jadi engineer kita yang 10 tahun masa kerja, itu dibajak.
Yang ketiga masalah regulasi. Masalah perpajakan. Spare part pesawat yang masuk ke Indonesia itu masih mayoritas kena bea masuk dan pajak. Sedangkan di MRO di luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, itu enggak.
Di sini pun, kalau pesawat asing yang masuk, itu spare part-nya enggak kena pajak. Mereka pulang, pulang saja. Tapi begitu pesawat domestik yang masuk ke GMF, itu kena pajak spare part-nya.
Makanya harga kita untuk maskapai domestik pasti lebih mahal daripada ke maskapai asing. Tantangannya tiga itu.
Bagaimana untuk memecahkan tantangan itu?
Kalau spare part memang kita ya close coordination dengan supplier, dengan manufaktur. Karena manufaktur sendiri yang kesulitan.
Terus kita mulai membuka jalur beberapa sourcing. Bukan hanya ke OEM, mungkin ada stokis-stokis yang punya atau provider.
Atau juga bisa pakai PMA part. PMA itu part manufacturing approval. Jadi komponen kualitasnya sama, tapi bukan dari OEM, tapi diizinkan oleh otoritas berwenang.
Kalau masalah yang SDM tadi, ini bukan cuma GMF dan di MRO lain juga sama. Bahkan di Malaysia juga sama, pada pindah ke Middle East.
Di internal kita punya program retention. Kemudian kita supply-nya, kita punya kerjasama dengan beberapa politeknik yang punya AMTO (Aircraft Maintenance Training Organization). Jadi ada yang keluar, ada yang masuk. Development juga kita percepat. Tanpa mengorbankan kualitas.
Terkait SDM ini sebenarnya yang sulit ya?
Indonesia itu dalam 3 tahun terakhir 200 lebih (engineer yang dibajak MRO asing).
Indonesia ya, bukan cuma GMF. Indonesia itu mungkin 3 tahun ini bisa tembus 300 orang. Bisa 100 orang per tahun ke Middle East. Situasi seperti sekarang ya saat ini.
Pak Andi tahu penyebab masalahnya, kenapa bisa dibajak?
Masalahnya itu, kabur dulu aja, hahaha. Enggak ya, masalahnya memang salah satunya ya competitiveness dari salary dan sebagainya. Tapi tetap banyak yang bertahan juga. Sebenarnya 300 itu kalau dibandingkan dengan total pegawai enggak sampai 5 persen se-Indonesia.
Cuma kan besar dan yang sulitkan yang pergi yang experience 5 tahun ke atas. Itu yang sulit kita ganti.
Nah kalau yang nomor 3 tadi, ya kita udah ajukan ke pemerintah beberapa skema-skema agar kita playing fieldnya sama, aturannya sama. Dibikin regulasinya sama dengan negara tetangga.
Ya kita bersama dengan asosiasi, kebetulan saya ketua asosiasi MRO dengan ketua asosiasi Airlines, Pak Denon (Denon Prawiraatmadja, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia), kita sudah mengajukan juga ke Kementerian Perhubungan.
Kementerian Perhubungan sudah follow up juga ke kementerian terkait. Semoga bisa dalam waktu dekat ada kebijakan.
Agak harus bersabar karena prosesnya panjang Pak Andi. Selanjutnya, ini kan disebutnya Aero Asia, meliputi juga Asia Pasifik?
Iya, Asia Pasifik.
Nah kalau bisa dijelaskan, keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh GMFI?
Kita, satu, punya orang yang kompeten. Berpengalaman, kompetitif, baik dari skill, quality, harga, kita kompetitif.
Meskipun ada yang dibajak ya?
Dibajak membuktikan bahwa orang kita memang keren.
Iya, betul ya.
Kalau orang kita enggak keren, enggak mungkin Emirates membajak orang kita.
Fasilitas lengkap. Kita termasuk MRO yang lengkap. Kita punya hanggar, kita punya backup shop, ada composite shop, ada starter shop, kita punya cabin shop, kita punya engine shop, yang bisa sampai overhaul. Kita punya landing gear shop yang up to overhaul juga dan punya komponen avionik, electromechanical shop.
Jadi ini enggak banyak MRO seperti ini. Kita yang paling lengkap.
Kita juga punya approval dari 30 negara termasuk Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Fiji. Maksudnya customer kita, kalau misalnya dari Filipina mau masuk ke sini, kita punya approval dari otoritas Filipina.
Jadi kita punya 30 negara. Artinya kita pernah mendapatkan customer dari 30 negara.
Tadi kan sempat disinggung, tahun lalu sempat membukukan pencapaian positif itu sebesar 12,9 persen. Ini pencapai positif, tapi juga menjadi PR untuk tahun-tahun berikutnya. Apa strategi GMF untuk bisa melampaui capaian tahun lalu?
Jadi kita sekarang fokus di airframe. Kenapa? Karena buat kami marginnya lumayan. Jadi target ke depan adalah kita mulai menambah kapabilitas baru, seperti Airbus 350, Boeing 787, Boeing 737-8, kita naik sampe C-Check sekarang. Kemarin kan baru sampai A-Check atau line maintenance. Sekarang kita masuk ke heavy maintenance.
Kemudian kita juga mulai ekspansi yang government. Kita punya helikopter sekarang di Cibubur, MRO untuk helikopter. Kita sedang masuk lagi ke Airbus, helicopter.
Kemudian proyek-proyek dari pemerintah, seperti ke depannya ada A400M yang baru tes flight. Itu kan tahun depan datang. Kita dapat maintenance-nya juga.
Kemudian kita mulai masuk ke bisnis jet pribadi. Nanti Falcon dan Gulfstream bisa nge-cat di sini.
Ini servisnya untuk pesawat komersial saja atau bisa pesawat militer juga?
Jadi kita punya dua divisi, komersial dan government. Komersial itu airlines. Kalau Government, customer kita adalah Kementerian Pertahanan.
Dari Kementerian Pertahanan ada proyek-proyek dari TNI AU dan Angkatan Darat. Helikopter dari Angkatan Darat, tapi budgetnya melalui Kementerian Pertahanan.
Kemudian Setneg (Sekretariat Negara). Pesawat A-001 itu pesawat presiden. Ity dari Sekretariat Negara. Kita juga perawatan tahunan.
Setelah ini, rencana pembangunan Aerospace Park. Bagaimana progresnya sekarang?
Jadi konsepnya, kenapa kita perlu Aerospace Park? Karena OEM sekarang banyak yang main di bengkel. Mereka produsen-produsen mesin dan komponen. Jadi agak sulit untuk memberikan transfer teknologi ke lokal. Jadi kami di IAMSA (asosiasi MRO Indonesia), termasuk kami, sulit untuk mendapat kapabilitas baru di komponen.
Negara sebelah, mereka membangun Aerospace Park. Contohnya, Singapura dari zaman dulu ya, ada Selatar. Di Malaysia ada Subang Sky Park. Di Thailand ada Utapau. Mereka menarik investor-investor, OEM buka fasilitas di situ. Contohnya beberapa merk, seperti Honeywell dan Safran, dia buka di Malaysia.
Artinya, airline di Malaysia diuntungkan karena gampang untuk maintenance. Sedangkan kita harus kirim ke sana. Bahkan kita ban pesawat saja masih harus ke Thailand, karena mereka enggak mau investasi di sini.
Nah kita bikin Aerospace Park itu adalah untuk menarik investor-investor OEM dan pabrik-pabrikan itu mau bikin investasi di sini.
Kita bikin kawasan yang khusus Aerospace Park yang dengan nanti kemudahan-kemudahannya. Mungkin nanti ada KEK, ada kemudahan pajak dan sebagainya.
Plan-nya GMF, MRO government-nya kita pindah ke sana. Kalau sekarang masih jadi satu. Semua proyek-proyek government kita buatkan satu area. Jadi GMF MRO komersialnya di Cengkareng. Yang defense MRO-nya kita di Kertajati.
Tanah yang lainnya itu kita coba tarik MRO untuk OEM atau manufaktur bisnis gudang dan sebagainya, yang untuk aviasi kita tarik ke sana. Kita kerjasamakan.
Jadi kita dengan PT BIJB, kita membuat KSO untuk mengelola kawasan. Tapi kita masuk menjadi first tenant . Setelah itu kita tarik yang lain.
Konsepnya seperti itu. Sebenarnya bukan cuma untuk GMF, Aerospace Park itu untuk Indonesia. Untuk kepentingan ekosistem aviasi di Indonesia.
Areanya seluas apa, Pak?
Total sebenarnya 84 hektare, tapi tahap pertama kita di 40 hektare.
Sudah sejauh mana?
Kita masih, dari awal kita masih menyelesaikan administrasi-administrasi.
Dan juga kalau misalnya udah jadi, bisa menghidupkan bandara Kertajati ya Pak?
Sebenarnya lebih ke mengutilisasi lahan di sana dan mengutilisasi aset di sana lah. Karena yang baru kan enggak mendatangkan penumpang, tapi kita bisa mengutilisasi aset.
Pak, kemarin ada rencana Garuda itu mau pesan 50 pesawat Boeing dalam negosiasi tarif dengan Donald Trump. Kalau terwujud, bagaimana kesiapan GMF?
Sebenarnya kami mengikuti saja nanti. Garuda, yang dipilih pesawat apa kan kami belum tahu. Pesawatnya apa jenisnya? Kita ikuti, kita akan siapkan capability.
Tapi so far ya, mau jenis apa pun kita sudah bisa sebenarnya. Kalau nanti pilihannya di Boeing, kami sudah siap Boeing 737-8 atau MAX, kemudian Boeing 787 kita sudah punya. Jadi kami siap.
Pak Andi mungkin bisa disampaikan bagaimana target ke depannya, terutama ini sudah pertengahan tahun juga?
Pertama sekarang kita akan reaktifasi ya. Reaktifasi Garuda itu proyek besar. Mungkin baca juga, Danantara menguncurkan biaya untuk reaktifasi pesawatnya Citilink dan Garuda.
Ini kami support full. Kemudian proyek-proyek dari pemerintah, defense kita support. Dalam waktu dekat kami akan ekspansi ke luar negeri. Ini tunggu tanggal mainnya saja.
Jangan tunggu-tunggu, bocorin sedikit, Pak?
Belum boleh di ekspos. Tapi dalam waktu dekat kami akan beroperasi di Middle East. Dengan dua hanggar, dengan 4 hanggar wide body dan narrow body. Jadi operate hanggar narrow body, wide body dan line maintenance di Middle East. Jadi ada GMF Middle East.
Kan bocor juga, tanggalnya?
Tanggalnya belum.