Suara.com - Program kredit pemilikan rumah (KPR) yang diwajibkan bagi prajurit tamtama dan bintara oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) periode 2021-2023, Jenderal (Purn) Dudung Abdurachman, kini menjadi sorotan. Kebijakan ini menimbulkan persoalan serius, mulai dari cicilan yang dinilai melampaui batas aturan hingga 'menyiksa' kondisi finansial prajurit.
Selain itu, audit yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal TNI AD (Irjenad) menyimpulkan adanya masalah dalam proses pencairan dana dari Badan Pengelola Tabungan Wajib Perumahan (BP TWP) kepada pihak pengembang proyek, dengan nilai mencapai Rp 586,5 miliar.
Untuk menjawab berbagai isu tersebut, tim IndonesiaLeaks menemui Jenderal (Purn) Dudung Abdurachman di ruang kerjanya di Kantor Staf Presiden, Jakarta Pusat, pada Jumat, 18 Juli 2025.
Pria yang kini menjabat sebagai Penasihat Khusus Presiden urusan Pertahanan Nasional tersebut mengklaim program KPR swakelola di masanya bertujuan murni untuk kesejahteraan prajurit.
Berikut adalah petikan wawancara lengkapnya.
Bagaimana kondisi BP TWP ketika Anda menjabat KSAD?
Kondisinya sedang tidak bagus. Ada kasus korupsi Rp 400 miliar anggaran perumahan prajurit yang menyeret Brigadir Jenderal Yus Adi Kamrullah. Dia Sudah divonis bersalah oleh pengadilan militer. Karena kasus itu, anggaran BP TWP dibekukan.
Apa benar ketika itu Anda memerintahkan pencairan uang BP TWP senilai Rp 586,5 miliar?
Iya, itu untuk melanjutkan proyek perumahan. Jadi kami suntik. Total suntikan itu hampir Rp 500 sekian miliar. Ada yang Rp 250 miliar. Ada yang Rp 10 miliar.
Baca Juga: Rumah Hantu Jenderal Dudung: Gaji Prajurit Dikuliti, Sengkarut Dana Setengah Triliun Rupiah
Ada yang Rp 5 miliar. Ada yang Rp 100 miliar. Tergantung besarnya mitra itu. Secara umum, semua berjalan lancar, dari sekitar 20 pengembang, hanya satu yang bermasalah."
Apa alasan Anda mewajibkan prajurit mengambil kredit rumah?
Pada waktu itu banyak perumahan mangkrak karena pengembang tak punya uang untuk melanjutkan proyek. Makanya saya perintahkan setiap komando distrik militer mewajibkan prajurit mengambil kredit rumah. Sehingga proyek berjalan, prajurit dapat rumah.
Tapi prajurit merasa dipaksa mengambil rumah. Mereka juga mengaku diancam dipindahkan ke Papua jika menolak?
Oh nggak. Kalau itu yang tadi saya bilang diapelkan. Saya bilang kalau nggak begitu, prajurit nggak beli-beli rumah. Karena prajurit lulus langsung masuk satuan pasti pinjam uang ke bank untuk membeli sepeda motor, HP, dan lain-lain.
Saya bilang daripada uang habis untuk konsumsi, lebih baik berinvestasi beli rumah. Kalaupun tidak ditempati bisa kontrakan Rp1,5 juta, dibayarkan untik cicilan Rp1,1 juta, kan dia masih dapat Rp400 ribu. Lalu selama 10 tahun ke depan dia punya rumah. Benar nggak?
Tapi lokasi rumah yang mereka terima jaraknya jauh dari barak. Bahkan sampai saat ini ada yang belum tahu di mana lokasi rumah mereka. Bagaimana tanggapan Anda?
Nggak ada ceritanya, saya beli rumah nggak tahu rumah saya di mana. Nggak bisa seperti itu.
Berapa sebenarnya potongan bagi prajurit untuk bayar cicilan rumah?
Potongan bervariasi, tergantung profil gaji setiap tentara. Biasanya tak lebih dari 30 persen dari gaji. Kalau tentara berpangkat kolonel bisa sekitar Rp 2 juta. Prajurit biasa rata-rata Rp 1 juta. Kalau prajurit tamtama dan bintara potongannya besar, bisa protes dia. Prajurit bisa demo kalau begitu.
![Salah satu perumahan prajurit di Perumahan Cahaya Darussalam 2 Tambun Bekasi, Jawa Barat terlihat mangkrak. Program kredit perumahan yang diwajibkan kepada prajurit TNI membuat beban mereka semakin berat. [Tim IndonesiaLeaks]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/08/04/84083-rumah-prajurit.jpg)
Benarkah ada setoran 'uang komando' saat hendak membeli rumah?
Nggak ada! Setiap prajurit yang ambil rumah mengajukan permohonan kepada asisten personel komando daerah militer. Mereka lalu mengadakan akad kredit dengan bank.
Sertifikat ditahan sebagai jaminan. BP TWP lalu membayar kepada pengembang secara bertahap. Biasanya dilakukan selama tiga termin. Saya enggak mau begitu-begituan 'uang komando.' Nggak ada mas. Sorry gue nggak seperti itu."
Bagaimana proses Anda dalam memilih pengembang untuk proyek rumah prajurit ini?
Tidak sembarang pengembang bisa menjadi mitra BP TWP. Pengusaha yang mau bekerja sama harus menggelar presentasi dulu kepada komandan batalyon. Lalu komandan batalyon akan mengecek legalitas. Jika disetujui, komandan batalyon akan bersurat kepada asisten personel kodam, lalu kepada BP TWP.
Bagaimana Anda memastikan agar pengembang tidak menyelewengkan uang BP TWP?
Sertifikat tanah kan dipegang BP TWP. Nilai jaminan aset itu saja ditaksir mencapai lebih dari Rp 1 triliun. Tanah kan instrumen investasi.
Dulu ada kawan membeli lahan sekitar 11 hektar di Malang, Jawa Timur, senilai Rp 20 miliar, sekarang harganya melambung menjadi Rp 60 miliar."
Apakah BP TWP mendapatkan margin atas proyek ini?
Pasti ada marginnya. Ke mana keuntungan proyek ini? Untuk menutup Rp400 miliar yang dulu dibawa lari.
Tapi sudahlah, tak usah menyalahkan masa lalu. Maaf ya, biar berlatar tentara, gini-gini saya sarjana ekonomi. Sedikit banyak paham soal itu."