Heri Andreas, Ahli ITB: Jutaan Hektar Wilayah Pesisir Indonesia Bisa Hilang

Kamis, 02 Juli 2020 | 07:05 WIB
Heri Andreas, Ahli ITB: Jutaan Hektar Wilayah Pesisir Indonesia Bisa Hilang
Ahli Geodesi ITB, Heri Andreas. [Suara.com / Rin Hindryati]

Nah, kemudian baru kita terbesit, "Ini kayaknya yang tanah turun, akhirnya topografinya di bawah laut." Baru dari situ sadar bahwa: "Wah! Ini ternyata efek penurunan tanah, signifikan terhadap banjir rob."

(Pada 2007 air laut naik ekstrem, banjir rob menerjang Jakarta Utara, merendam rumah-rumah --Red)

Pada 2010 baru saya coba modelkan, bagaimana pola dari banjir rob yang terjadi di Jakarta. Sehingga ketika diproyeksikan, barulah keluar kesimpulan: Jakarta bakal tenggelam. Model itu baru kita buat di 2010.

Kondisi bangunan rusak dan terendam akibat penurunan tanah di kawasan utara Jakarta. [Dok. Heri Andreas]
Kondisi bangunan rusak dan terendam akibat penurunan tanah di kawasan utara Jakarta. [Dok. Heri Andreas]

Saat itu fokus penelitian masih Jakarta? Atau sudah melihat pesisir pantai yang lain?

Waktu itu sudah dengan Semarang. Jadi 2006 itu Semarang sudah mulai. Di Semarang itu juga kira-kira hampir mirip. Di 2007-2008 rob-nya mulai ada. Mulai menjadi pusat perhatian waktu itu.

Di tahun 2000-an awal, sama juga seperti halnya di Jakarta. Sebenarnya masih silent. Belum ada isu besar tentang banjir rob. Jadi 2006 kita juga mulai di Semarang. Jadi, Jakarta dan Semarang, dan di Bandung. Tapi Bandung kan bukan pesisir.

Pada 2010, Anda simpulkan di Jakarta terjadinya penurunan tanah. Apa penyebabnya?

Betul, banjir rob ini merupakan salah satu dampak dari penurunan tanah. Penting juga kita untuk melihat, apa faktor penyebabnya. Karena nanti urusannya ke mitigasi dan adaptasi. Kita harus tahu dulu faktor penyebabnya. Akhirnya kita melakukan riset lanjutan, mencari fakta.

Penyebabnya hingga saat ini masih didiskusikan.

Baca Juga: Bukan Utara dan Barat, Ini Wilayah Terbanyak Banjir di Jakarta

Memang setelah 2010, kita mulai cari fakta penyebabnya. Kalau saya menyimpulkan, ada 7 faktor penyebab terkait penurunan tanah itu.

Pertama, kompaksi alamiah. Jadi secara natural (alamiah), turun. Kalau di lapisan sedimen muda, aluvium, secara alamiah memang turun sendiri. Ini namanya kompaksi alamiah. Kedua, kalau kita kasih beban tanah itu. Beban dari urugan, beban dari infrastruktur, itu bisa tambah turun tanahnya.

Ketiga, apabila kita eksploitasi air tanah. Apalagi eksploitasi yang sangat berlebihan, itu juga bisa menyebabkan turun. Keempat, bisa karena ada efek tektonik. Kalau kita mengenal istilah pergerakan lempeng, interaksi antar lempeng, maka manifestasi dari interaksi antar lempeng ini bisa sebabkan efek penurunan tanah.

Saya menemukan lagi faktor kelima, yaitu eksploitasi minyak dan gas. Ketika minyak dan gas dieksploitasi, itu menyebabkan tanah juga turun. Tapi nanti kita lihat, kasus di Jakarta kan tidak ada eksploitasi minyak dan gas, berarti faktor ini tidak ada. Tapi faktor secara general itu harus dimasukkan dulu. Eksploitasi minyak dan gas sebagai faktor kelima.

Lalu yang keenam, faktor ekploitasi geothermal serta tambang bawah permukaan yang relatif besar. Itu juga bisa sebabkan tanah turun, meski tidak terlalu besar turunnya. Dan yang ketujuh (terakhir), itu urusannya dengan pengeringan lahan gambut.

Ketujuh faktor inilah sebagai faktor yang menyebabkan penurunan tanah. Di wilayah-wilayah tertentu dimungkinkan tidak semua faktor ada. Jakarta, misalnya, gambut tidak ada, migas tidak ada. Tapi mungkin di satu tempat lain, semua faktor itu ada. Bisa dimungkinkan seperti itu.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI