Wawancara Najelaa Shihab: Krisis Pendidikan Kita Diperparah Pandemi

Selasa, 17 November 2020 | 11:41 WIB
Wawancara Najelaa Shihab: Krisis Pendidikan Kita Diperparah Pandemi
Ilustrasi wawancara. Pendidik sekaligus aktivis pendidikan, Najelaa Shihab. [Foto: Dok. pribadi / Olah gambar: Suara.com]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Nah mulai 2004 kita mulai mendirikan LLE [long life education] yang kemudian berganti nama menjadi Kampus Guru Cikal dan menyebarkannya ke ratusan daerah di Indonesia. Jadi kami bikin pelatihan-pelatihan untuk menumbuhkan kemerdekaan belajar, kompetensi guru dan sebagainya. Kemudian alumnusnya – alumni dari pelatihan itu – kemudian mendirikan komunitas guru belajar di berbagai daerah.

Jadi itulah konsep kemerdekaan belajar yang kemudian kami coba formulasikan menurut versi kami. Lalu kita coba implementasikan menjadi gerakan yang melibatkan puluhan ribu guru dan sekolah. Pada saat konsep ini digunakan, kita hibahkan untuk digunakan oleh Mendikbud. Kami hibahkan penggunaannya. Ya tentu ada penerjemahan lain dari Kemendikbud tentang merdeka belajar ini sebagai kebijakan. Nah itu bukan tempatnya saya untuk cerita.

Udah muncul juga kan berbagai episode Merdeka Belajar versinya kemendikdud.

Tapi secara umum kalau yang dilakukan Cikal sejak 1999, lalu 2004, dan kemudian 2015 kami memulai temu pendidik Nusantara, selanjutnya di 2017 kita menerbitkan buku Merdeka Belajar dan sebagainya, sudah konsisten kita lakukan. Dan Insya Allah puluhan tahun ke depan pun kita akan terus melakukan itu terlepas dari apakah merdeka belajar ini menjadi slogannya Kemendikbud atau Mas Menteri untuk beberapa tahun ke depan. Itu urusan lain.

Kita prinsipnya adalah gerakan publik yang akan terus menerus mengupayakan kemerdekaan belajar yang memang kami percaya itu jadi kompetensi dan kunci yang sangat penting untuk kita tumbuhkan pada anak-anak maupun dipraktekkan oleh guru-guru yang ada di ekosistem.

Konsep ini kan bagus sekali. Artinya setiap guru diberi kebebasan untuk kreatif, mengembangkan dan memahami kebutuhan siswa. Yang saya amati, sebagian besar guru terutama di sekolah-sekolah publik itu terpaku pada kurikulum. Belum ada keberanian untuk kreatif, entah khawatir salah atau takut disalahkan. Apa yang sekarang digulirkan Mendikbud tentang konsep merdeka belajar pun nampaknya belum kelihatan gaungnya. Apakah ini karena masih banyak PR yang harus diselesaikan dan berat banget? Apalagi ini kan seperti saya bilang tadi mengubah paradigma dan mindset. Bagaimana menurut Mbak Elaa?

Yang namanya perubahan paradigma, yang namanya perubahan pendidikan, itu kan juga memang bukan sesuatu yang hanya bisa diupayakan oleh pemerintah atau kementerian.

Ada satu jaringan lain yang juga saya inisiasi. Salah satu pendirinya itu Kampus Guru Cikal, bersama 23 organisasi pendidikan lain, namanya Jaringan Semua murid, Semua Guru. Sebetulnya pesan utamanya itu [sesuai nama jaringan] bahwa pendidikan itu tanggung jawabnya semua.

Jadi kalau kita memang percaya perlu ada perubahan paradigma, perlu ada perbaikan pendidikan, kita juga nggak bisa cuma bilang bahwa pendidikan itu tanggung jawabnya pemerintah. Kalau menterinya keren dan kemendikbud bagus lalu [alokasi] anggaranya 20%, apakah masalah selesai? Itu juga nggak mungkin. Jadi memang orang tua harus terlibat, ada komunitas dan organisasi pendidikan yang fokus di pendidikan keluarga.

Baca Juga: PJJ Jadi Tantangan Bagi Orangtua, Bagaimana Strateginya?

Di Jaringan Semua Murid, Semua Guru yang terdiri dari 790 lebih komunitas dan organisasi pendidikan, itu ada kluster khusus sekitar 35 yang memang fokus khusus untuk bikin training-training orang tua, mengembangkan pola pengasuhan dari mulai isu menyusui, keterlibatan ayah, dsb. Ada lagi yang kerja di pengembangan guru.

Apakah gak cukup yang dilakukan pemerintah untuk pelatihan guru? Jawabannya tentu enggak cukup. Jadi sudah melakukan, tapi nggak cukup. [Karena itu] tetap harus ada organisasi-organisasi seperti Kampus Guru Cikal, seperti IGI, seperti Bantu Guru Belajar Lagi, dll. Di Indonesia banyak sekali yang bekerja untuk ini.

Jadi saya ingin kita semua juga melihat dengan lebih bijak. Kalau ditanya apa capaiannya Kemdikbud baik di periodenya Mas Nadiem, di periodenya Pak Muhajir, Mas Anies, dan seterusnya – dimana saya ikut bekerja bersama mereka – termasuk juga dulu dengan Pak Nuh? Tentu ada yang memang bisa dicapai oleh pemerintah, ada perubahan yang merupakan dampak dari kebijakan kemendikbud. Jadi ada yang dilakukan pemerintah.

Tetapi, perlu [keterlibatan] semua pemangku kepentingan. Kalau kita belajar dari perubahan pendidikan di berbagai negara, sebetulnya terlihat sekali bahwa bukan cuma soal perubahan di pemerintahnya. Tapi justru makin banyak [keterlibatan] masyarakat yang melakukan praktek baik untuk melakukan inovasi. Nah kemudian, inovasi-inovasi itu diperbesar skalanya.

Jadi justru pemerintah yang belajar dari inovasi-inovasi dan praktek-praktek yang sudah dilakukan masyarakat. Itu yang kemudian diimplementasikan. Itulah yang jadi kunci suksesnya banyak negara pada saat melakukan perubahan pendidikan.

Kalau kita bicara pemerintah, Mbak Rin, sebetulnya ada pemerintah pusat, ada pemerintah daerah juga kan. Jadi memang banyak sekali fungsi pendidikan itu yang diotonomikan, ada desentralisasi di situ. Dan memang tantangannya itu masing-masing daerah pun beda-beda. Jadi memang ini masalah besar yang butuh waktu. Bukan Cuma 1 tahun, 5 tahun.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI