Mereka... kemampuannya untuk mempengaruhi, menggerakkan perubahan... Nah itu aja buat saya udah: ‘Wow, Alhamdullilah.’ Akhirnya ada kepercayaan diri yang muncul dari inovator-inovator ini dan kesediaan mendengar, merasa sejajar... sementara mungkin kalau di pertemuan tatap muka, mereka merasa udah jauh [gap-nya], yang itu udah merasa lebih jago..tapi saat ini semua masih sama-sama belajar, berdampingan, saling menemani di situasi yang memang gak mudah ini.
Di era pandemi ini kan guru-guru milenial ya, yang lebih advance karena lebih familiar dengan internet dan media sosial.
Betul.
Justru guru-guru millenial inilah yang dibutuhkan sekarang ya Mbak; guru-guru yang sudah 50 tahun ke atas, mereka agak kerepotan beradaptasi.
Secara umum, Mbak Rin betul. Data kami di Komunitas Guru Belajar menunjukkan bahwa memang guru yang lebih muda, biasanya tingkat kecemasannya terhadap teknologi itu lebih rendah. Karena memang udah lebih biasa menggunakan. Dalam konteks bukan sebagai guru pun mereka aktif di dunia digital, dsb.
Jadi memang yang lebih tua biasanya lebih cemas karena gak terbiasa, dsb. Tetapi proses belajarnya selama mereka ada komitmen, ada motivasi internal untuk berubah dan memang melihat kebutuhan anak, kita lihat banyak juga yang kemudian bisa belajar dengan sangat cepat.
Walaupun sebelumnya, kita ngajarinnya mulai dari gimana pakai WhatsApp; email itu apa itu. Masih harus diajarkan dari awal. Banyak, kita ada jenjangnya. Kita ada gerakan Sekolah Lawan Corona. Inilah yang dilakukan Kampus Guru Guru Cikal, Keluarga Kita, Sekolah.mu.
Pelatihannya itu dari mulai cara instal WhatsApp, gimana buka email dan seterusnya. Jadi bukannya soal platform digital tapi yang betul-betul kayak literasi digital yang sangat dasar itu yang kita lihat banyak guru-guru dari Bantaeng, di Sulawesi Selatan, dari daerah-daerah di Jawa Barat, dsb. [Mereka] Bisa berubah dan belajar dengan cepat. Tapi ya butuh didampingi.
Saya juga pernah bercakap dengan pemilik sekolah internasional. Mereka saat pandemi pun kualitas belajar mengajar tetap terjaga. Artinya seluruh platform long-distance learning terkini dari US itu mereka adopsi. Siswa dan murid betul-betul aktif terlibat. Bandingkan dengan murid-murid di sekolah negeri yang paling banter menggunakan ruang guru, google classroom atau sesekali google meet. Artinya ada gap yang lebar sekali. Mbak Elaa melihat kekhawatiran ini? Artinya, ada segelintir siswa yang dengan kecanggihan teknologi bisa maju pesat sekali, sementara sebagian besar terutama sekolah-sekolah negeri dan di daerah itu masih harus terseok-seok untuk beradaptasi.
Baca Juga: PJJ Jadi Tantangan Bagi Orangtua, Bagaimana Strateginya?
Sangat amat khawatir karena teknologi itu membawa isu kesenjangan juga. Digital divide itu nyata kan. Di satu sisi ada anak yang mungkin pada saat pembelajaran jarak jauh ini dapat lebih banyak daripada sebelum wabah. Karena kemudian [ketersediaan] sumber daya belajarnya macam-macam. Orang tuanya mendukung. Jadi ibaratnya gurunya pun bagus, berusaha, dan orangtuanya pun tidak hanya ngasih fasilitas tetapi juga terlibat.
Di sisi lain ada anak-anak yang gak dapat akses sama sekali, orangtua pun mau nggak mau harus kerja jadi gak bisa ngasih perhatian, ada tekanan ekonomi, gurunya kompetensi rendah. Jadi memang kesenjangan capaian, kesenjangan kesempatan itu nyata menjadi makin besar dengan adanya teknologi pembelajaran jarak jauh maupun situasi pandemi. Itu nyata dan itu memang jadi tantangan dan PR [pekerjaan rumah.Red] yang harus kita selesaikan.
Tapi isu kesenjangan dalam pendidikan ini juga bukan isu baru. Sebelum corona pun sebetulnya kesenjangan itu nyata. Ada sekolah yang gurunya lengkap, bagus, tapi ada sekolah yang boro-boro punya cukup guru atau fasilitas. Jadi ini memang pekerjaan besar yang harus kita selesaikan terus-menerus.
Tapi bahwa corona itu membawa bukan cuma dampak jangka pendek – sekarang anak-anak gak bisa sekolah – tapi juga menengah dan jangka panjang. Dengan adanya kesenjangan capaian ini...bukan cuma anak-anak yang rentan dalam kemiskinan, tapi juga seperti yang saya sampaikan tadi anak-anak inklusi, Mbak. Anak-anak dengan disablitas.
Itu yang bikin saya gelisah. Anak-anak disabilitas itu, mereka banyak sekali intervensi, terapi, bimbingan pendidikan yang perlu dilakukannya itu dengan tatap muka. Gak akan bisa efektif sama sekali. Kalau anak-anak yang gak punya kebutuhan khusus mungkin kita bisa bilang, ya [pembelajaran] jarak jauh itu efektif 50 persen atau mungin 70 persen. Tapi kalo anak-anak berkebutuhan khusus itu mungkin efektifnya cuma 20 persen atau bahkan 10 persen. Nah ini yang mereka betul-betul perlu segera dapat dukungan juga.
Orangtuanya itu betul-betul harus dapat dukungan kapasitas. Nanti ada proses remedial. Kemudian kalau masyarakat rentan miskin, itu perlu ada perbaikan intervensi gizi dan lain sebagainya. Jadi banyak PR-nya memang. Karena Corona ini, itu menjadi berlipat ganda, makin sulit.