Saat keadaan mulai kembali normal, apa yang perlu segera dilakukan untuk mengejar ketertinggalan-ketertinggalan ini terutama dalam menstandarisasi kualitas output anak didik ya mbak. Atau kita realistis saja merelakan satu tahun ini kita anggap hilang, dan mulai lagi saja dari awal.
Yang pertama, yang paling penting, tadi saya sudah sampaikan, itu sebetulnya assesment. Kita perlu meng-assess... Assessment-nya ini bukan dalam bentuk ujian nasional tapi semua guru perlu meng-assess sebetulnya kemampuan anaknya itu sampai mana.
Jadi untuk melihat antara ketuntasan kurikulum dan apa yang seharusnya sudah bisa mereka pahami. Nanti begitu masuk, pertama kali, [siswa] di-assess dulu. Jadi kita tahu kesenjangannya gimana. Karena kan kalau di sekolah, itu kesempatannya mungkin setiap hari bisa dicek pemahamannya sampai dimana, bisa kelihatan.
Nah begitu nanti kita kembali ke sekolah dan kalau bisa dari sekarang pun dilakukan assesment yang berkelanjutan untuk melihat kebutuhan masing-masing anak itu seperti apa.
![Najelaa Shihab bersama putrinya. [Dok. pribadi]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2020/11/17/84210-najelaa-shihab-bersama-putrinya.jpg)
Yang kedua itu tentu ya remedial-remedial program. Tujuannya untuk melakukan diferensiasi cara mengajar bahkan mungkin kompetensi dasar yang diajarkan, tujuan pembelajaran. Itu semua harus disesuaikan. Jadi kita gak bisa samaratakan; kita anggap semua anak yang ada di kelas 1 SD di sekolah kita itu butuh sesuatu yang sama. Dituntut kemampuan [guru] untuk mengajar sesuai level anak didiknya, memberikan tugas yang beragam, ngasih lebih untuk anak yang memang butuh lebih, itu harus dilakukan oleh guru.
Nah ketiga itu sebetulnya intervensi-intervensi lain yang gak berkaitan dengan akademik. Jadi banyak anak yang tertekan secara mental, mungkin jadi korban kekerasan, punya frustrasi, merasa lonely dan sebagainya, itu juga butuh dukungan sebetulnya dari sekolah. Dan ini buka cuma pekerjaan guru BP [Bimbingan Penyuluhan.Red], guru BK [Bimbingan Konseling.Red] aja sebetulnya tapi semua wali kelas, semua guru harusnya bisa membangun hubungan yang baik dengan anak. Karena memang ini kan situasinya anak [mengalami] isolasi, bosan, kangen teman, dsb. Nah ini juga bisa dimulai dari sekarang.
Keempat yang menurut saya penting adalah terus melibatkan orang tua. Jadi, walaupun sekarang kayaknya orang tua kebebanan dan kesusahan, mungkin juga udah gak sabar ‘kapan sih ini anak balik lagi ke sekolah,’ bisa nitipin lagi, dsbnya.
Sebetulnya modal keterlibatan [orang tua] selama masa pandemi ini jangan sampai nanti berbalik lagi 180° saat pertemuan tatap muka sudah dimulai kembali. Jadi, koneksi antara rumah dan sekolah, komunikasi yang baik antara guru dan orang tua harus dipertahankan terus sampai nanti sehingga jangan sampai kembali ke asal, jangan sampai tingkat keterlibatannya... kalau menurun pasti karena udah dibagi lagi bebannya dengan guru, dibandingkan pada saat sekarang. Tetapi kita harapkan tentu kesadaran orang tua ini juga tetap tinggi. Mereka juga tetap terlibat dalam proses pembelajaran anak walaupun nanti sekolah sudah dibuka kembali.
Ini seharusnya menjadi agenda pemerintah juga ya Mbak supaya ada gerakan nasional. Karena kalau mengharapkan inisiatif guru atau kepala sekolah di sekolah-sekolah negeri terutama, akan sangat kecil kemungkinan terjadi. Harus ada instruksi dari Kemendikbud untuk menjalankannya. Harus menjadi program nasional.
Baca Juga: PJJ Jadi Tantangan Bagi Orangtua, Bagaimana Strateginya?
Kalau Kemdikbud, sebetulnya kan sudah ada beberapa ruang... Saya memang PSPK [Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan; salah satu dewan pakarnya adalah Najelaa Shihab --Red] kami gak kerja dalam konteks covid ini sama Kemdikbud, tetapi saya tahu ada kurikulum darurat yang sudah disiapkan, ada kebijakan-kebijakan anggaran untuk alokasi BOS [Bantuan Operasional Sekolah. Red], BOP [Bantuan Operasional Penyelenggaraan Pendidikan. Red] juga yang jadi lebih fleksibel di masa pandemi seperti ini. Kemudian ada juga subsidi kuota data, dsb.
Jadi, sudah ada beberapa kebijakan [pemerintah]. Tapi ya mungkin kalau dalam konteks organisasi, kami itu [yang terdiri dari] sekolah.mu, Kampus Guru Cikal, dan Keluarga Cikal, kita ada kerja dengan Pemprov DKI Jakarta, dengan Pemprov Jawa Tengah, dan juga dengan Pemerintah Kabupaten Bantaeng di Sulawesi Selatan, kemudian juga dengan Pemerintah Kota Bandung. Jadi memang ada beberapa Pemda yang kami bantu prosesnya...Dan itu kita lihat betul-betul [ada] komitmen dari pemerintah daerahnya untuk memastikan bahwa proses pembelajaran jarak jauh ini berjalan dengan baik. Itu betul-betul ada gitu ya.
Jadi ada dukungan buat guru, dukungan buat orang tua, kemudian ada juga upaya-upaya untuk menjaga kelangsungan lembaga-lembaga pendidikan. Dan saya yakin, pasti bukan cuma ini. Saya ceritakan ini karena memang saya bekerja intens dengan Jakarta, dengan Jawa Tengah, Bantaeng, dan Bandung. Tapi secara umum pasti banyak contoh-contoh lain Mbak Rin dimana memang pemerintah pusat maupun pemerintah daerah itu melakukan sesuatu.
Kita perlu kumpulkan aja terus contoh-contoh itu. Memang ada contoh-contoh yang masih kesulitan, masih masalah, tapi ini loh ada contoh-contoh yang baik dan bisa melakukan sesuatu. Nah ini kan bisa kita sebarkan narasinya sehingga bisa saling belajar dan mengadaptasi inovasi dengan sukses dan berkelanjutan terus.
Setelah pandemi nampaknya sistem pembelajaran yang blended akan terus berlangsung ya Mbak? Kalau pendapat pribadi bagaimana?
Kalau saya, karena saya percaya sama pentingnya blended... dan saya lewat berbagai organisasi di sekolah.mu, di Keluarga Kita dan Kampus Guru Cikal sudah bekerja dengan ribuan sekolah dan melihat betapa sebetulnya teknologi ini kalau didayagunakan dengan baik bisa sangat amat berdampak positif pada anak. Maka saya tentu berharap bahwa blended ini akan terus menjadi kebiasaan dan budaya baru untuk kepentingan muridnya.