Tantangannya itu saya pikir dalam bentuk teror dari keluarga mereka ke pesantren kita; ada satu-dua, tapi nggak sering ya. Tapi secara umum, yang berat tantangan kita itu berkaitan dengan finansial aja, karena pesantren kita ini gratis. Di samping gratis, anak-anak santri kita juga disekolahkan, kita kasih jajan, transportasi, ditanggung semua kebutuhannya.
![Santriwati tengah belajar di Pesantren Pembinaan Mualaf Yayasan An-Naba Center Indonesia, Ciputat, Kota Tangerang Selatan (Tangsel). [SuaraJakarta.id/Wivy Hikmatullah]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2021/04/26/27874-pesantren-pembinaan-mualaf-yayasan-an-naba-center-indonesia.jpg)
Tekanan fisik dan mental tak terlalu sering, dan cenderung kita abaikan saja. Tantangan kita paling berat finansial ini, pembiayaan. Santri kita ratusan dan gratis semua. Di Ciputat ada 60 orang, di NTT ada ratusan orang, jadi semua kita cover biayanya. Kita nggak punya perusahaan, perdagangan; kita mengandalkan muhsinin. (Ketika) Donatur pada tekor dan bangkrut usahanya, membuat kita terseok-seok, kesulitan juga pembiayaan. Tapi kita optimis-lah, menolong agama Allah ini pasti ditolong sama Allah.
Soal pengalaman mendapat teror dari keluarga yang diislamkan itu, bagaimana? Bisa diceritakan?
Iya, (itu) saya dulu ketika mau pengislaman 10 orang di NTT, Kupang. Saya datang ke sana (karena) ada orang minta tolong disyahadatkan 10 orang. Tiba-tiba ketika mau syahadat, kami dikepung satu desa di dalam rumah. Ratusan orang datang melempari batu ke dalam rumah. Ada yang bilang serbu, bakar, bunuh. Ya, saya dengan kuasa Allah aja belum ajal. Intinya kalau kita lihat tragedi malam itu sangat mencekam sekali, sepertinya kami (bakal) tidak ada lagi, dibakar segala macam. Tapi alhamdulillah, ditolong kami malam itu, jadi kami nggak jadi (tewas), masih panjang umur. Itulah salah satu rintangan dakwah kita.
Pergerakan pesantren mualaf ini memang akan fokus ke NTT?
(Ya) Karena saya banyak mengislamkan di sana. Masih pemuda dibawa ke sini, kalau yang suami-istri di sana ada pesantrennya.
Sejauh ini bagaimana cara mengajak agar orang di NTT mau masuk Islam?
Mereka melihat dari interaksi (bahwa) kita peduli. Saya datang ke sana bagi-bagi sembako ke mereka. Nggak ada misi agama, tapi peduli kemanusiaan. Tapi ternyata, kita bantu mereka, mereka bersimpati ke kita dan menyatakan ingin masuk Islam. Ya, kita Islam-in.
Respon sejauh ini terhadap aktivitas dan perjuangan Anda?
Baca Juga: Wasis Setya Wardhana: 'Jogo Tonggo' Berbasis Data, Cara Desa Kami Hadapi Covid-19
Variasi; ada yang mendukung, (ada yang) membenci dan memusuhi.
Rencana terhadap pesantren atau santri-santri Anda ke depan?
Mereka wajib sekolah dan kuliah, ditargetkan agar bisa dakwah ke kampung halamannya masing-masing. Kalau ilmunya dangkal, bagaimana mau dakwah. Di Sudan (ada) 4 orang (santri), di Iran 3 orang.
Apa pesan perjuangan penyebaran agama Islam dari Anda, ustadz?
Kompetisi penyiaran agama itu kan ketata ya... Supaya waspada, hati-hati, apalagi mereka (agama lain) ditopang dengan materi yang besar. Jangan sampai orang Islam tergiur dengan iming-iming materi.
Terkait perjuangan kita, saya berharap umat Islam peduli dengan perjuangan kita. Membina mualaf ini tanggung jawab kita bersama. Bagaimana (agar) jangan sampai mereka hanya ikrar, tapi dibimbing. Kalau murtad kembali, yang berdosa kita semua.