Itu menjengkelkan bagi kami para epidemiolog, dengan alasan bahwa alasan ekonomi. Kami katakan, nggak bisa kurang dari 10.000, lebih dari 10 rumah atau lebih dari 5 rumah, Anda katakan zona merah itu sangat berdampak pada ekonomi.
Kemudian itu tidak di-lockdown RT-nya, orang masih bisa keluar-masuk, hanya dibatasi (jam) 20.00. Anda kira kita bisa bernegosiasi dengan virus, bahwa mereka boleh menularkan setelah pukul 8 malam saja? Nggak begitu konsep lockdown secara mikro.
Bahkan di banyak negara orang masih bisa demonstrasi, walaupun kita mungkin jadi kacau-balau begini. Artinya sepanjang itu bisa diatur dan disiplin, maka itu menjadi lebih baik.
Jadi bisa disebut pemerintah gagal mencegah varian baru? Artinya, pembatasan yang dilakukan percuma, ketika pemerintah membuka selebar-lebarnya bagi WNA?
Iya, sebenarnya ada aturannya. Maksud saya begini, pemerintah itu tidak boleh salah dalam membuat aturan. Kalau pun di dalam implementasinya kemudian ada oknum, penyalahgunaan, maka law enforcement yang harus berlaku. Tetapi di atas kertas pemerintah tidak boleh salah aturan. Ketika di atas kertas pemerintah mengatakan "Oh, 5 hari saja (karantina)" secara gampang, epidemiolog akan menyalahkan itu. Anda salah, karena aturannya itu 14 hari karantina.

Soal bagaimana karantinanya, itu ada tekniknya. Misalnya, kalau dia memiliki kemampuan finansial yang banyak, dia sebenarnya bisa dikarantina di hotel-hotel yang dia inginkan, atau di rumahnya yang memenuhi syarat. Tetapi harus bisa dipastikan kalau dia tidak keluar-masuk. Bagaimana caranya? Lho, dari awal kita sudah bicara tentang digital tracing, kita bisa memantau siapa bertemu dengan siapa. Kenapa itu tidak dijalankan? Itu adalah teknik karantina sebenarnya.
Jadi yang terpenting itu adalah pemerintah itu tidak boleh salah di dalam regulasi di atas kertas. Kalau implementasinya kemudian diselewengkan, menyimpang, maka law enforcement yang harus berlaku.
Ini soal bertabrakan dengan ekonomi juga, di mana soal WNA misalnya, mereka bisa menarik pendapatan bagi negara terutama untuk tempat wisata. Ini jadi dilema juga dong, buat pemerintah?
Ya, satu lagi itu (memang) tentang wisata. Tapi apakah kita harus tutup? Tidak. Tapi jangan bikin wisata kita itu kemudian menjadi murah atau murahan. Artinya, semua orang boleh masuk ke Indonesia, mau dia backpacker, toh mereka yang tidak memiliki kapital atau modalitas yang cukup besar itu juga berdampak terhadap ekonomi kita.
Baca Juga: Wawancara Devi Pandjaitan: Daripada Kritik, Ayo Buat Sesuatu Untuk Negara!
(Tapi) Mereka membuat transmisi di tempat kita, menyebar dengan cepat, sehingga pemerintah harus mengeluarkan begitu banyak uang untuk itu, untuk mengatasi itu. Sementara, berapa uang yang bisa dihasilkan dari mereka? Kecil sekali.
Nah itu, kalau mereka mau masuk, buatlah aturan supaya mereka itu masuk secara eksklusif. Artinya kalau memang mau masuk, memang ditata. Mereka baru bisa masuk harus dengan syarat mereka punya asuransi internasional, mereka baru bisa masuk kalau mereka bisa sewa hotel bintang 5 yang memiliki protokol kesehatan ketat selama setidaknya 2 minggu. Jadi ekonomi kita tetap berjalan di situ, sehingga selama 2 minggu sampai dengan 1 bulan itu dia masuk ke negara kita lalu dia sakit, dia bisa dikarantina di hotel tersebut dan itu menggerakkan ekonomi.
Kalau begitu kita kapitalis sekali, kenapa orang-orang miskin tidak boleh berwisata? Tidak bisa begitu (menyimpulkannya). Orang-orang yang memiliki kemampuan ekonomi menengah ke bawah (juga) dikasih berwisata dengan cara yang murah, tetapi diatur. Misalnya, kita punya banyak taman kota, (nah) taman kota jangan ditutup. Ini pada masa pandemi malah ditutup. Tapi mereka (masyarakat) juga diajarkan. Jangan kemudian mereka tamasya, gelar tikar buka rantang, dan itu juga menimbulkan kerumunan. Jadi itu yang harus diajarkan. Mengubah perilaku masyarakat kita itu caranya dengan seperti itu. Jangan selalu menyalahkan masyarakat kita.
Selama ini bidang-bidang perubahan perilaku, saya lihat berkali-kali kita hanya menyalahkan saja masyarakat kita. (Dikatakan) Ini naik (kasusnya) gara-gara mereka tidak patuh pada protokol kesehatan. Ngukurnya saja sudah tidak akurat. Bagaimana mereka mengukur? Mengukurnya melalui survei-survei persepsi. Ya nggak bisa mengukur perilaku itu dengan persepsi.
Kemudian yang kedua ada lagi dengan foto-foto (sebagai tolok ukur). Katanya kita sudah bicara big data, sudah bicara artificial intelligence, sudah bicara tentang apa itu machine learning. Tuh banyak sekali, apa namanya, CCTV, yang beredar di Jakarta. Pantaulah perilaku mereka itu dalam 3M di CCTV tersebut. Mau dipantau pada jam kerja, di luar jam kerja, bisa. Mau dipantau hari libur dengan hari kerja bisa. Mau dipantau dengan cara apa pun menggunakan machine learning sangat bisa sekali, termasuk juga (soal) jaga jarak dan menggunakan masker.
Tapi kalau urusan mencuci tangan, pemerintah juga harus siapkan namanya fasilitas untuk cuci tangan (terutama di tempat publik). Jangan hanya menyuruh, meminta (3M), tapi fasilitasnya tidak ada.