Fenomena Citayam Fashion Week, Sosiolog Rakhmat Hidayat: Mencairkan Batas Sosial, Perlu Disalurkan ke Ruang Produktif

Kamis, 28 Juli 2022 | 17:38 WIB
Fenomena Citayam Fashion Week, Sosiolog Rakhmat Hidayat: Mencairkan Batas Sosial, Perlu Disalurkan ke Ruang Produktif
Ilustrasi wawancara. Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Rakhmat Hidayat. [Foto: Dok. pribadi / Olah gambar: Suara.com]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
Foto kombo beberapa remaja menyeberangi jalan sambil bergaya di kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat, Rabu (6/7/2022). [Suara.com/Alfian Winanto]
Foto kombo beberapa remaja menyeberangi jalan sambil bergaya di kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat, di tengah fenomena yang dikenal dengan Citayam Fashion Week, Rabu (6/7/2022). [Suara.com/Alfian Winanto]

Sekarang kan akhirnya Citayam Fashion Week tidak hanya diikuti oleh anak-anak pinggiran, tetapi kalangan elite juga ikut terjun ke Citayam Fashion Week. Apakah (ini) bisa disebut adanya krisis identitas?

Karena mereka melakukan perlawanan kemapanan struktural di metropolitan, di Kota Jakarta, dan akhirnya mereka jadi trending center yang itu jadi daya tarik kelompok menengah ke atas, karena akhirnya politisi, selebriti, dan terakhir adanya berita mengejutkan juga buat kita (bahwa) Baim Wong sempat akan mendaftarkan hak cipta Citayam Fashion Week (ini disampaikan sebelum belakangan ada berita di mana Baim Wong menyatakan mencabut pendaftaran HAKI yang dilakukannya -Red). Itu kan menunjukkan bahwa sebenarnya orang sudah mengalami kejenuhan, orang sudah mengalami inkolusi kultural terhadap sesuatu yang bersifat mewah, komersil, gegap gempita. Tapi dengan sekarang yang tradisi subkultur yang remeh-temeh, orang menjadi (merasakannya) menarik, punya sensasi, daya tarik, dan punya greget. Itu akhirnya membuat orang jadi tertarik, didukung oleh media sosial yang mempromosikan. Jadi ini semacam jadi perlawanan kelas pinggiran kok, menjadi satu pusat kebudayaan baru, yang itu jadi daya tarik kelompok menengah ke atas dan mereka tertarik bergabung ke budaya mereka (anak pinggiran).

Artinya, itu tidak bisa juga dibilang krisis identitas tadi?

Sebenarnya enggak juga ya. Sekarang itu identitasnya itu kemudian menjadi cair. Dulu kan kalau identitas struktur terkait dengan identitas sosial ya. Jadi kalau bicara tahun 1980-an, identitas sosial anak-anak muda Jakarta itu memang nongkrongnya di Melawai dengan mobil mewah. Kemudian kan terkenal juga Radio Prambors, kemudian nongkrong di situ. Kemudian ada selatan Jaksel. Kemudian datanglah anak Citayam ini yang identitasnya kelas bawah, anak-anak pinggiran atau akar rumput. Nah, mereka ingin melawan dominasi kelas atas itu. Ternyata dengan CFW ini, batas-batas kelas sosial itu sudah runtuh, sudah tidak ada lagi. Karena orang menjadi berbaur, orang menjadi melebur di situ. Yang tadinya anak-anak pinggiran di situ, datanglah selebritis, datanglah politisi ke situ, datanglah kelas-kelas menengah profesional.

Teman-teman dosen saya juga banyak yang datang ke situ, foto-foto, merasakan euforia di sana dan akhirnya menjadi cair. Tadinya ada kelas menengah atas; ini orang kaya, (ini) orang pinggir, orang kelas bawah. Orang kelas bawah kan tahun 80-90an sampai sekarang mungkin, anak itu kalau ke Senayan City mereka kaget, kayak shock. Mau belanja apa, beli kopi aja mahal. Nah, itu kan jelas batas-batas identitasnya. Saya pikir, (dengan) adanya CFW ini batas-batas sosial itu luntur, cair, semua orang tumplek ke situ. Nggak ada batas-batas orang kaya, orang menengah, semua campur merasakan bagian dari komunitas subkultur yang namanya CFW itu.

Menurut Anda, dalam fenomena CFW ini apakah ada masalah kultur, karena kan selalu diikuti (yang lain) seolah latah kultur?

Betul. Nah ini juga akan direproduksi namanya, orang menjadi latah, nanti akan muncul di daerah yang lain, mas. Misalnya di daerah Bandung, Surabaya, Medan, orang akan meniru dan mereproduksi CFW. Itu akhirnya kemudian di satu sisi memang kreatif, (bagi) anak pinggiran Bandung, Surabaya, Medan dan lainnya. Tapi itu kemudian masalahnya kehilangan otentitas identitas kebudayaan. Mereka nggak original lagi.

Saya pikir anak-anak Citayam itu kelebihannya genuine, orisinal, otentik lah mereka itu. Ya, siapa sih yang tadinya kenal Jeje, Bonge kan, tapi tiba-tiba mereka sekarang melebihi artis-artis seperti Baim Wong, setara dengan Rafi Ahmad. Makanya kemudian Jeje dan Bonge itu ada julukannya, jadi "sultannya" SCBD. Jadi kalau selama ini "sultannya" ada di Bintaro dan Andara, nah ini "Sultan SCBD" itu Jeje dan Bonge. Orang jadi penasaran pengen tahu Jeje dan Bonge. Ini yang menentukan bahwa ada perbedaan otensitas kebudayaan awal Citayam tersebut. Tapi kalau daerah lainnya meniru dan menduplikasi, nah mereka kehilangan identitasnya. Dan mereka di daerah baru itu tidak akan bertahan lama ya, sesaat.

Citayam ini kan sekarang ramai Satpol PP melarang. Itu sebenarnya jangan dilarang. Semakin dilarang, semakin membludak dan (ter-)eksposure; semakin ditekan, semakin direpresif, dilarang, ditutup, itu nggak boleh. Karena anak-anak Citayam itu mereka warga kota yang punya hak mengkonsumsi, untuk mengisi ruang. Sama kayak saya, akademisi, para pedagang kaki lima, kita punya hak yang sama mengkonsumsi untuk pribadi ruang-ruang di kota. Justru harus diberikan ruang, harus diadvokasi oleh pemerintah, misalnya disediakan panggung, acara, event, ada fashion show, mengundang sponsor, stand up comedy. Jadi untuk menghidupkan, bukan dilarang. Ini (dilarang -red) berbahaya, karena semakin ditekan akan semakin meledak, dan akan jadi perlawanan yang masif untuk anak-anak Citayam sendiri.

Baca Juga: Berkah Citayam Fashion Week, Omzet PKL di Sudirman Naik Hingga 200 Persen

Kalau melihat dari fenomena CFW ini, ada nggak sih sisi kreatifnya? Atau (apakah) mereka hanya sekadar ajang pamer outfit yang nyentrik?

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI