Dua hal itu sebenarnya nggak bisa dipisahkan ya, karena mereka itu kan masih anak-anak muda yang masih (dalam masa) transisi. Mereka ingin pamer dengan outfit-outfit yang kalau kita lihat di wawancara, itu kan harganya berapa. Kan ada yang murah meriah, dibeli di toko mana gitu. Ya, sebenarnya, mereka ingin pamer, karena ingin menunjukkan eksistensi, jati diri di ruang publik, apalagi di kota metropolitan.
Sebenarnya kreativitasnya mereka hanya ingin melihat bahwa mereka juga bisa eksis, karena mereka punya konten YouTube dan Instagram. Mungkin kreativitasnya di sana. Termasuk soal baju yang aneh-aneh dengan gaya nyentriknya, juga termasuk kreativitasnya, perlawanannya di situ. Kalau kita lihat orang Jakarta menengah ke atas, kan pakaiannya branded, berharga, mahal. Tapi kan anak-anak ini yang murah-murah, aneh, nyeleneh. Jadi sebenarnya kreativitasnya bisa dipahami, dalam anak pinggiran tadi, tapi itu sebagai identitas mereka sekaligus sebagai cara mereka buat eksis. Karena mereka selama ini merasa dipinggirkan. Karena mereka dulu kan mengenal Citayam itu apa sih, kayak tempat "jin buang anak" gitu kan. Tapi sekarang kan Citayam jadi (dapat) promosi gratis. Orang semua jadi pengen tahu Citayam apa, di mana, dan (ini) sebenarnya sisi lain untuk promosi gratis bagi Citayam.
Tadi dijelaskan (bahwa) sisi kreativitasnya lebih kepada pakaian yang nyentrik. Apakah fenomena ini bagian dari korban budaya karena misinformasi di media, atau seperti apa?
Ya, mereka juga sebenarnya bisa dikatakan adalah korban dari surplusnya informasi dan kebebasan di media sosial. Artinya, sebenarnya mereka diuntungkan oleh meledaknya media sosial, (dunia) digital di masyarakat. Orang dengan mudah broadcast, share di YouTube dan lainnya, termasuk media-media konservatif, termasuk TV memberitakan live, kemudian channel Youtube, podcast. Mereka diuntungkan dengan itu. Artinya kalau tidak ada media sosial itu, mungkin nggak semeledak sekarang. Mereka diuntungkan. Anak-anak Citayam dapat panggung dan mendapatkan spot-nya, eksposure publiknya di situ.

Sebetulnya ini yang harusnya dilihat, di-maintainance, jangan sampai ini menjadi liar, menjadi melebara ke mana-mana. Ini maksudnya melebar ke mana-mana ini, bisa melebar ke masalah hukum. Karena akan jadi gugatan nanti kalau nanti ada yang melaporkan ke Kementerian terkait hak cipta misalnya. Dan ini bisa jadi bahaya menggelinding, yang bisa dimobilisasi kelompok-kelompok tertentu, komunitas politik misalnya dan seterusnya. Sebenarnya ini harus dilihat secara lebih dari sosial kultural, dari sisi identitas, keativitas, jangan sampai ini melebar ke sisi yang tidak produktif.
Tren CFW ini juga memang kemudian memunculkan adanya pengajuan dan penerbitan hak cipta dari beberapa sosok yang mendaftarkan ke Kemenkumham ya (Baim Wong sempat disebut lagi di sini sebelum kemudian ada kabar sudah menyatakan mencabut pendaftaran HAKI yang dilakukannya -Red). Itu bagaimana?
Nah, itu yang menjadi kontraproduktif ya. Dengan pendaftaran itu, buat apa kepentingannya? Karena anak-anak Citayam itu kan anak-anak yang putus sekolah, anak kelas bawah, anak ekonomi kelas bawah. Tapi kemudian mereka jadi korban eksploitasi kelas atas, yang kemudian ingin mendapatkan keuntungan ekonomi, ingin dapat cuan dari tren Citayam itu, harus dapat izin atau seperti apa. Mereka ingin mengekploitasi kepentingan ekonomi. Kemudian akhirnya apa? Ya, anak-anak Citayam itu jadi korban dari komersialisasi dari kelas tertentu. Siapa itu? Ya, itu yang mendaftarkan itu. Seharusnya kemudian diakomodir, dinaungi oleh pemerintah, diarahkan, diberikan ruang, agar jangan sampai ini jadi rebutan, jadi konflik ekonomi dari kelompok-kelompok tertentu untuk mendapatkan ekonomi. Menurut saya, ini mencederai kebebasan anak-anak Citayam itu.
Kedua, ini kemudian jadi masalah baru karena mereka mencoba (mendaftarkan) hak cipta itu adalah mencoba untuk mengeksploitasi kepentingan anak-anak Citayam. Anak-anak Citayam itu tidak mengerti apa-apa. Jangankan mereka ngerti hak cipta itu apa, sekolah aja nggak selesai kan. Mereka itu anak-anak lugu yang polos dan cuma pengen nampang, ekspresif bergaya, di tengah kehidupan mereka yang susah terbelit secara ekonomi, tapi mereka ingin eksis. Jadi akhirnya kalau ada laporan pengajuan hak cipta, itu jadi ironis, dan menurut saya menjadi hal yang disayangkan.
Ke depan, pemerintah harusnya seperti apa mengelola CFW ini, agar tidak berhenti dan bahkan berkembang ke tren-tren baru yang bisa saja bermunculan nanti?
Baca Juga: Berkah Citayam Fashion Week, Omzet PKL di Sudirman Naik Hingga 200 Persen
Ini harusnya disalurkan ke dalam ruang-ruang ekonomi kreatif yang produktif, misalnya dengan event-event tertentu. Bikin satu event, misalnya setiap weekend, dari Jumat, Sabtu, Minggu, bikin event panggung. Bisa mengundang beberapa model untuk mereka sama-sama anak Citayam tersebut untuk (naik) pentas. Bisa bikin perform (penampilan) sekalian penyanyi, konser, komedian stand up. Juga bisa melibatkan dari BUMN, Pemda DKI jelas terlibat. Kemudian siapa lagi, misalnya Kemenparekraf, terus juga misalnya dari Kemenpora bikin acara-acara anak muda yang lebih kreatif dan menyenangkanlah. Jangan serius-serius. Seperti bikin konser musik, misalnya (pas momen) 17-an ala Citayam Fashion Week, mengundang influencer, sehingga itu lebih produktif dan teratur. Mereka kalau bisa dijadikan komunitas nggak apa-apa, jadi misalnya kayak Jeje dan Bonge, misalnya (jadi) founder, co-founder.