Dalam sistem peradilan kita, keyakinan majelis hakim sangat menentukan. Nah, kalau sejak awal hakim sudah meyakini bahwa pelecehan seksual dan kekerasan itu tidak ada tentu segala hal yang berkaitan dengan itu akan dianggap tidak relevan; termasuk bukti psikiatri dan psikologis. Ini dapat mempengaruhi keputusan vonisnya.
Sebenarnya saya pikir tidak juga demikian. Karena begini: keyakinan yang akan diperolah di dalam perkara yang disidangkan itu…atau keyakinan yang timbul itu adalah keyakinan tentang perkara pembunuhan, bukan keyakinan tentang tidak terjadinya pelecehan seksual. Itu kan berbeda. Berbeda kan itu.
Keyakinan yang harus ditimbulkan hakim itu adalah keyakinan bahwa pembunuhan itu terjadi. Hakim yakin bahwa pembunuhan itu terjadi. Keyakinan itu timbul bukan timbul begitu saja karena itu semua harus berdasarkan bukti-bukti. Nah itu. Bukti-bukti pelecehan seksual belum pernah dilakukan untuk diperiksa.
Menarik. Kami juga pernah bercakap dengan Prof. Sulistyowati Irianto dari UI yang terlibat dalam penggodogan UU TPKS. Satu hal yang ia sesalkan adalah penempatan perkosaan di pasal 4 ayat 2, bukan di ayat 1 sehingga posisinya lemah. Perkosaan hanya ‘subordinate’ bukan ‘core’ karena dinyatakan di pasal 4 ayat 2 bahwa ‘…juga meliputi perkosaan.’ Bagaimana menurut Ibu?
Memang kalau dilihat di sini yang akan dipakai adalah KUHAP. Saya belum membaca secara mendetail ayat 2 UU TPKS. Tapi, di ayat 2 ini apakah ada ancaman pidananya tersendiri? Nah, itu juga perlu dilihat. Kalau tidak ada ancaman pidananya tersendiri kita akan kembali ke KUHAP.
Saya juga tadinya berpikir bahwa semua tindak pidana kekerasan seksual ini lalu dimuat di dalam UU TPKS. Saya tadinya berpikir seperti itu. Nah, saya ini kan bukan legislator. Cuma berpikir seperti itu kalau dilihat dari judulnya. Tapi, ternyata masih merujuk kepada [hukum acara] yang lain. Ya, kalau saya sebagai hakim, kita ini pelaksana UU dan ya kita laksanakan saja.
Tapi, kalau dibilang bahwa lalu ini menjadi mengurangi wibawa dari peraturan tentang tindak pidana kekerasan seksual, saya pikir tidak juga. Saya pribadi berpendapat tidak juga karena UU TPKS mengatur tentang perluasan pembuktian maka lebih mudah pembuktiannya dibandingkan kalau kita membuktikan perkara-perkara yang ada dalam KUHP menggunakan KUHAP.
Untuk kasus perkosaan, di KUHAP itu menuntut pembuktian visum fisik?
Albertina: Iya, dan saksi itu harus melihat sendiri, dan sebagainya. Kalau di UU TPKS ini, ini kan saksi nggak melihat sendiri boleh menjadi saksi. Jadi, dengan perluasan pembuktian itu menurut saya sudah cukup baik dalam arti kalau kita perlahan-lahan untuk menuju kepada yang lebih ideal.
Apa yang bisa dilakukan untuk menolong para korban kekerasan seksual sehingga mereka bisa bersuara lewat jalur hukum? Karena umumnya korban perkosaan atau kekerasan seksual itu orang yang lemah dari segi relasi kuasa. Pelakunya sendiri umumnya orang-orang dekat termasuk atasan, guru, dosen, dan keluarga. Dalam perkosaan ‘incest’ pelaku itu bisa ayah, kakak, dan paman sendiri sehingga atas nama kehormatan atau wibawa keluarga kasus kerap dibenam ke permukaan.
Sebenarnya kalau kita lihat di dalam UU ini, kalau saya nggak salah ingat, itu sudah diatur juga bahwa rumah sakit bisa melaporkan kalau tahu [ada kasus perkosaan atau kekerasan seksual]. Ini sudah bagus. Rumah sakit punya kewajiban melaporkan. Kemudian lembaga-lembaga…kita kan mengenal di masyarakat ada lembaga perlindungan. Di Pemda-Pemda, misalnya, ada TPK2S. Itu semua punya kewajiban untuk melaporkan dan sebagainya. Ini kan sudah bagus; sudah melibatkan masyarakat luas untuk ikut melaporkan. Kalau dulu kan tidak.
Tindakan pidana kekerasan seksual ini banyak terjadi di lingkup rumah tangga dan biasanya disembunyikan karena merupakan aib keluarga. Tapi, dengan adanya kewajiban pihak-pihak lain untuk melaporkan, saya pikir cukup membantu. Kemudian ada pemberatan juga. Artinya, kalau keluarga menutupi maka hukumannya akan lebih berat, ditambah sepertiga. Ini sudah beda. Kalau di dalam KUHAP tidak ada pemberatan sepertiga itu.
Secara aturan sudah bagus, cuma pelaksanaannya masih sangat kurang. Lalu, apa yang paling mendesak untuk dilakukan sekarang?
Seberapa bagus pun tapi pelaksanaannya belum optimal ya, itu peraturan hanya di atas kertas. Jadi, pelaksananya harus ditingkatkan kemampuannya. Penyidik, penuntut umum, dan hakim, termasuk.
Nanti ada juga peran LPSK, LSM pendamping korban, dan yang lain. Itu semua harus bersinergi. Dan, kita harus betul-betul bisa menerapkan UU TPKS sesuai dengan tujuan keberadaannya.