Kalau misalkan dilihat sekarang sih kayak India, itu sudah berjalan kan industri AI-nya gitu. Nah kalau misalkan di Indonesia, Mas Wahyudi, ELSAM itu sudah ada riset, bagaimana sih perkembangan industri AI di Indonesia khususnya?
Ya, jadi sebenarnya kalau dari sisi penetrasi Indonesia juga cukup tinggi ya dalam konteks pemanfaatan dan pengembangan teknologi AI ini gitu kan. Meskipun kemudian tentu sektornya sangat variatif di level kesenjangannya antara satu sektor dengan sektor yang lain. Jadi, kalau dari studi kami kan memang bersama dengan akses partnership kemungkinan topangan dari ekonomi AI itu kan bisa mencapai 18 persen dari total PDB kita di 2022.
Jadi dia bisa mencapai 243 miliar dolar ya. Nilai ekonomi yang mungkin ditopang oleh pemanfaatan atau optimasi dari teknologi AI. Nah dari sisi keterpaparan sampai dengan saat ini memang yang paling besar di sektor teknologi informasi dan komunikasi.
Karena kan tadi seperti dijelaskan Pak Ajar memang banyak berkaitan dengan Chatboard lalu kemudian bagaimana mengembangkan konten-konten yang berkaitan dengan teknologi informasi dan komunikasi dan sebagainya. Nah yang paling rendah tingkat keterpaparannya itu adalah sektor pertanian, Agriculture, gitu kan. Ya, mungkin ini soal kapasitas dan sebagainya. Akses terhadap perangkat dan seterusnya gitu kan. Tetapi kalau dilihat lebih jauh, sektor yang paling beresiko di masa depan ketika ekonomi AI ini tumbuh, justru di sektor pertanian. (Wahyudi)
Apakah teknologi AI bisa menggantikan manusia?
Karena pada dasarnya kan teknologi AI, meskipun tadi diceritakan Pak Ajar itu dia mampu menciptakan ya, mampu apa namanya memproduksi hal-hal baru, dia bukan dibuat untuk menggantikan fungsi manusia pada dasarnya gitu kan. Jadi kan, ini yang harus ditekankan, kenapa kemudian perkembangan teknologi AI itu harus direspon dengan berbagai aspek, pendekatan, agar kemudian fungsi kontrol manusianya itu tetap sentral gitu kan. (Wahyudi)
Kalau tantangan di Indonesia sendiri untuk meningkatkan pendapatan melalui AI, itu seperti apa Mas Wahyudi?
Tantangannya ini, kalau dalam konteks eprivate sector, sebenarnya mereka sudah mulai membangun, membangun apa namanya, membangun adopsi atau bahkan mengakselerasinya, misalnya beberapa perusahaan BUMN sudah punya teknologi ini, kemudian digunakan untuk publik untuk meningkatkan engagement dengan customer-nya, punya hal baru dalam rangka experience dan meningkatkan productivity-nya.
Nah tantangannya, menurut saya adalah satu yang yang pertama adalah meningkatkan majority penggunaan cloud computing di pemerintah. Karena AI ini kan backbone-nya komputasi awan ya, sekarang mungkin sudah hyper skill cloud gitu. Nah kalau kemudian pemerintah juga bisa memaksimalkan pemanfaatan cloud computing, kita harapkan pemerintah bisa menemukan aplikasi-aplikasi baru AI, berbasis AI yang bisa memaksimalkan services-nya untuk khalayak seperti itu.
Baca Juga: Apa Pekerjaan Kartika Dewi? Adik Sadra Dewi yang Diduga Ikut Kecipratan Hasil Korupsi Harvey Moeis
Apakah kemudian AI ini mau digunakan sebagai tools atau kemudian mau digunakan sebagai kalau kita bilang weapon lah, senjata gitu ya pilihannya kan.
Jadi, negara harus memastikan bahwa AI yang digunakan di Indonesia itu harus yang aman tepercaya, memastikan, keselamatan penggunanya, atau kita-kita ini. Jadi harus ada regulasi yang embedded, yang kemudian bisa mengikat eh bukan mengikat, memastikan para developer perusahaan pembuat AI produknya aman. (Wahyudi)
Kita takut bahwa AI bisa menghilangkan pekerjaan. Apakah AI dapat membunuh pekerjaan kita atau justru malah membantu, Mas Ajar?
Ini pertanyaannya menantang, bagus sekali. Jadi, kalau belajar dari sejarah, selalu akan ada opportunity-opportunity baru atas teknologi, tadi disebutkan ada mesin cetak kemudian listrik.
Kalau dari asesmen kita, AI pun akan punya opportunity-opportunity baru. Memang akan ada perubahan shifting beberapa rule, yang mungkin awalnya dikerjakan manusia karena rutin, dengan perkembangan teknologi ada otomatisasi yang kemudian bisa jadi akan tergantikan. Bisa jadi.
Tapi kemudian, yang penting adalah shifting antara potensi pekerjaan yang lebih akan mendekati AI ini, yang membutuhkan orang-orang yang juga harus beradaptasi dengan AI.