Non-lethal weapon dalam tradisi polisi modern sudah mulai banyak digunakan di berbagai negara. Kami lagi mendorong agar angka kekerasan, penyalahgunaan kewenangan, dan sebagainya turun.
Kasus polisi menembak pelajar di Semarang disebut sebagai extra judicial killing. Bagaimana pandangan Anda?
Apapun istilahnya, yang pasti itu penembakan. Kecenderungannya memang itu termasuk dalam Pasal 338 KUHP, artinya memang sampai menghilangkan nyawa.
Jadi dalam konteks peristiwa, seperti di Semarang, penegakan hukum dengan pasal yang jelas menjadi sangat penting. Ini tidak hanya akuntabilitasnya penegakan hukum, tapi juga memberikan kesan kepada internal bahwa pelanggaran serius ya hukumannya serius.
![Anggota Kompolnas Choirul Anam. [Dok. Komnas HAM]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2024/12/03/93753-anggota-kompolnas-choirul-anam.jpg)
Evaluasi apa yang dilakukan Kompolnas terhadap kasus-kasus kekerasan oleh polisi, seperti penyiksaan dan penembakan?
Dalam menyikapi berbagai konteks itu, kami memastikan dua hal. Pertama, penegakan hukum atas berbagai peristiwa memang harus profesional dan harus transparan. Penting agar juga dilihat bagaimana proses berjalan, akuntabilitas berjalan. Apalagi kalau pelanggaran itu dilakukan oleh anggota kepolisian sendiri. Ini juga untuk membangun kepercayaan penegakan hukum oleh kepolisian.
Kedua, tidak cukup dengan penegakan hukum merespons sebuah peristiwa. Tapi juga langkah-langkah evaluasi mendasar, sehingga memunculkan kebijakan-kebijakan baru atau tradisi-tradisi baru atau model pengawasan baru agar kasusnya tidak berulang.
Apakah Kompolnas sudah atau akan menyurati Kapolri terkait kasus-kasus tersebut?
Kalau kasus per kasus ini kan langsung dipantau juga oleh Mabes Polri dan juga mengirimkan tim untuk bekerja di lapangan. Tapi sebagai satu fenomena faktual, kami memang memberikan perhatian terhadap fenomena ini dan akan merumuskan kebijakan.
Baca Juga: 3 Nyawa Melayang di Ujung Bedil: Polisi Bukan Sang Pengadil
Salah satunya selain memperketat senjata api, mulai mendorong penggunaan senjata non-lethal weapon. Terkait personelnya, kita mengingatkan soal tes psikologi.
Sebenarnya di samping tes psikologi, penting untuk menggerakkan minimal level Polda di level Polres, ada pelayanan mental health dari psikologi untuk anggota. Bisa seminggu sekali, bisa sebulan sekali sehingga tingkat kestressan, tingkat emosi dan sebagainya bisa dikendalikan. Polisi juga butuh mental health.
Bagaimana Anda menanggapi survei Indikator Politik Indonesia yang menempatkan Polri sebagai lembaga dengan tingkat kepercayaan publik nomor empat pada Januari 2024?
Itu masukan yang penting dan itu bisa menjadi rujukan kenapa sampai hasil tersebut. Nah yang paling penting tantangan ke depannya, ketika menjalankan penegakan hukum atau menjalankan kinerjanya polisi tidak cukup dengan profesional tapi juga transparan.
Transparansi menjadi jantung kinerja dan pembangunan kepercayaan dan harus menjadi fundamen bagaimana Polisi ke depan harus bekerja.
Sejauh mana Kompolnas yakin bisa memperbaiki dan mengawasi kinerja polisi yang semakin hari mendapat stigma negatif di masyarakat?