Di masa lalu, uang diaspora ini menjadi penopang masyarakat di negara-negara yang perekonomiannya tumbuh pesat terhadap goncangan krisis. Uang itu menjadi semacam "polis asuransi", kata Dilip Ratha, ekonom utama untuk migrasi dan remitansi di Bank Dunia.
Selama krisis tahun 2008, misalnya, devisa itu menjadi "tali penolong yang penting" bagi keluarga, jelas Ratha.
Penurunan pengiriman sebesar 6% pada tahun 2009 diimbangi dengan pemulihan sebesar itu pula pada tahun berikutnya.
Namun kali ini pemulihan penurunan pengiriman uang dari luar negeri akan memerlukan waktu bertahun-tahun, karena sebagian besar wilayah dunia dikarantina dan diberlakukan pula larangan beperian sehingga menimbulkan serangkaian tantangan baru, di samping penurunan ekonomi.
"Di masa lalu, orang biasanya membawa langsung uang tunai ketika pulang atau menitipkannya kepada orang lain untuk keluarga di rumah. Tetapi itu sekarang tidak mungkin," kata Ratha kepada BBC.
Menurutnya, pemerintah di masing-masing negara dapat mengambil langkah untuk membantu. Pemerintah dapat menggolongkan jasa remitansi sebagai layanan esensial sehingga tempat-tempat penerimaan dan pengiriman uang tetap buka.
Pemerintah juga dapat mengendorkan persyaratan yang menyulitkan pekerja migran. Ratha menyebut adanya peraturan larangan pencucian uang, tetapi sejauh ini tidak ada bukti bahwa remitansi digunakan untuk mencuci uang.
Bank Dunia telah lama menyerukan kepada negara-negara untuk memangkas ongkos pengiriman uang yang ata-rata di dunia berkisar 7%.
Delphine Pinault, dari CARE International, mengatakan penurunan remitansi memukul negara-negara yang miskin, dan berpengaruh besar bagi perempuan.
Baca Juga: Sejarawan: Sejak Zaman VOC, Saat Ada Wabah Prioritas Elite Adalah Ekonomi
"Perempuan lebih mungkin bekerja secara informal dan bergaji rendah - seringkali tanpa jaminan upah - dan tergantung pada remitansi dan bantuan untuk menjaga kelangsungan hidup keluarga," katanya.
"Kita tidak bisa mengabaikan penderitaan negara-negara lebih miskin dan lebih lemah yang sangat memerlukan bantuan negara-negara maju untuk menunjukkan solidaritas kepada mereka."