Daftar ini akan bertambah panjang kalau kita juga menghitung multiplier effect-nya. Misalnya saja, dampak terhadap industri makanan di sekitar perkebunan dan pabrik, hotel, industri keuangan, dan lain-lain.
Belum lagi kalau kita melihat kota-kota yang tumbuh sebagai akibat logis dari pembangunan ekosistem perkelapasawitan.
"Ibarat penemuan minyak fosil di masa lalu, kota-kota di sekitarnya akan ikut tumbuh dan berkembang," tegas Ihsan.
Dalam konteks ini, lanjut Ihsan, tampaknya Indonesia harus menjaga seluruh ekosistem sawit. Salah satunya adalah menjaga stabilitas harga agar petani (41 persen pemilik lahan sawit Indonesia) dan perusahaan bisa menjaga keberlangsungan industri ini.
Presiden Jokowi cukup cerdik ketika memutuskan untuk mengimplementasikan penggunaan sawit dalam bahan bakar nabati (BBN).
Kini, Indonesia tercatat sebagai negara yang paling agresif mengimplementasikan BBN, di mana saat ini Indonesia sudah mencapai B-30. Saingan terdekat, Malaysia baru mencapai B-10.
Menurut catatan Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), penerapan biofuel berjalan baik di Indonesia. Sepanjang 2019 saja biodiesel yang digunakan mampu mencapai 6,7 juta kilo liter.
Dalam kalkulator Aprobi ini senilai dengan penghematan pengeluaran negara 3,8 miliar dolar AS, karena negara tidak perlu mengimpor solar berbasis fosil.
Bahkan, biodiesel juga sudah berkiprah sebagai salah satu komoditas ekspor yang terus meningkat. Masih dari catatan Aprobi, sepanjang Januari-November 2019 lalu, ekspor biodiesel Indonesia telah mencapai 1,4 juta kilo liter (kl) dengan tujuan China, Hong Kong, dan Uni Eropa.
Baca Juga: Industri Sawit Diharapkan Mampu Tekan Angka Kemiskinan
Hebatnya lagi, ini merupakan kenaikan signifikan dibandingkan tahun 2018 yang hanya mencapai 1,7 juta kl.