Riset Terbaru: Beda dengan Klaim Pemerintah, Co-firing Biomassa di Indonesia Menambah Emisi Gas Rumah Kaca

Iwan Supriyatna Suara.Com
Kamis, 01 September 2022 | 17:35 WIB
Riset Terbaru: Beda dengan Klaim Pemerintah, Co-firing Biomassa di Indonesia Menambah Emisi Gas Rumah Kaca
Emisi rumah kaca. [Marcinjozwiak/Pixabay]

Meike juga menekankan, narasi yang berkembang terkait porsi pencampuran biomassa dengan batubara mengenyampingkan fakta masih tingginya kebutuhan batubara di program co-firing ini.

“Kesannya karena praktik ini mengurangi porsi penggunaan batubara di PLTU, jadi
co-firing ini lebih bersih, rendah emisi. Padahal, porsi biomassa yang dicampur hanya berjumlah kecil, 1 sampai 10 persen, sementara 90-an persennya tetap bersumber dari batubara. Sementara, para ilmuwan iklim dunia sudah mengingatkan negara-negara untuk tetap membiarkan batubara di dalam tanah dan segera berhenti menggunakan PLTU batubara agar tidak memperparah kondisi krisis iklim,” tegasnya.

Wahyudin Iwang, Manager Advokasi WALHI Jawa Barat (Jabar) mengatakan, klaim rendah emisi dari campuran biomassa di PLTU tidak akan bisa memulihkan kerusakan lahan pertanian dan kesehatan warga yang telah terjadi.

Pencemaran udara adalah faktor risiko yang memperburuk kesehatan kelompok usia rentan. Riset WALHI Jabar sejak tahun 2017 terkait operasional PLTU Indramayu 1 berkapasitas 3x330 MW di Desa Tegal Taman mengungkap, sebagian besar anak usia 2-7 tahun terpapar infeksi pernafasan akut atau (ISPA). Laporan keluhan itu meningkat jika dihitung sejak PLTU itu dibangun yakni 2011 hingga sekarang.

“Pencampuran bahan baku batubara dengan biomassa serbuk kayu yang telah dilakukan di PLTU Indramayu 1 hanya akan memperparah polusi udara dan kini asap yang keluar dari cerobong justru terlihat semakin pekat. Tak terbayangkan oleh kami, bagaimana semakin terancamnya paru-paru anak-anak di sekitar pembangkit itu,” ujarnya.

Dalam dokumen Nationally Determined Contributions (NDC) terbaru, pemerintah menargetkan Indonesia bebas emisi karbon pada 2060 atau lebih cepat, dengan menghentikan penggunaan energi fosil dan beralih ke energi terbarukan. Pada Juni 2022, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) dalam siaran persnya menyebut bahwa co-firing biomassa merupakan salah satu dari 4 strategi pemerintah dalam mereduksi emisi karbon. Senada dengan KESDM, alih-alih memensiunkan pembangkit tua, PLN menjadikan co-firing biomassa sebagai langkah untuk menurunkan emisi karbon dalam rangka memperpanjang usia operasional PLTU.

“Dekarbonisasi itu bukan sekadar transisi dari energi fosil ke sumber terbarukan, tetapi juga bagaimana menjamin keselamatan makhluk hidup. Tidak ada celah keselamatan iklim dan manusia dalam skema transisi energi dengan co-firing biomassa ini. Apabila kebijakan co-firing biomassa dengan batubara ini merupakan aksi mitigasi untuk mengatasi perubahan iklim, maka alih-alih mengurangi emisi karbon di sektor energi, justru menambah emisi karbon di sektor lain (kehutanan), sementara co-firing hanya dijadikan alasan untuk memperpanjang beroperasinya
PLTU yang seharusnya sudah pensiun. Kesungguhan transisi energi harus jelas ditunjukkan dengan mengutamakan sumber-sumber energi yang bersih dan berkeadilan,” tutup Meike.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI