Romli menekankan bahwa bukti audit BPKP adalah salah satu alat bukti utama dalam kasus tipikor yang menjerat Tom Lembong.
Menurutnya, kegagalan untuk menyampaikan hasil audit BPKP dapat menyebabkan proses hukum yang tidak adil dan berpotensi menjadi peradilan sesat.
“Jika dipaksa sidang dilanjutkan merupakan peradilan sesat (miscarriage of justice),” ucapnya.
Sementara itu, pengacara Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, menegaskan bahwa pihaknya telah mengajukan permintaan agar salinan audit BPKP diserahkan kepada jaksa dan majelis hakim.
Menurutnya, ini merupakan hak terdakwa berdasarkan sejumlah pasal dalam hukum Indonesia, di antaranya Pasal 1 angka 9 KUHAP juncto Pasal 4 Ayat 1 UU Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 72 KUHAP yang menjamin hak terdakwa dan penasihat hukum untuk mengakses dokumen yang relevan dalam pembelaan.
Serta, Pasal 39 Ayat 2 UU BPK juncto putusan MK Nomor 31/2012 yang menyatakan hasil audit perhitungan keuangan negara harus dibuka kepada terdakwa agar dapat diuji dalam persidangan dan diakses oleh terdakwa atau penasihat hukumnya.
“Ini adalah hak terdakwa yang kami permasalahkan sejak awal sidang. Kami membutuhkan salinan audit BPKP untuk menguji apakah benar ada kerugian negara dan bagaimana perhitungannya,” ujarnya usai sidang putusan sela, Kamis (13/3).
Ia juga mengungkapkan bahwa hasil audit BPKP baru muncul setelah Tom Lembong ditahan, meski penahanan tersebut terjadi pada Oktober, sedangkan klarifikasi BPKP baru dilakukan pada Januari.
Permintaan ini, menurut Ari, juga berkaitan dengan keadilan yang harus dijunjung dalam sidang yang menarik perhatian publik ini.
Baca Juga: Kecewa Berat, Tom Lembong Sindir Dakwaan Jaksa: Kualitasnya Patut Disesalkan
"Jika dalam proses ini ada yang keliru, baik dari jaksa maupun hakim, maka akan dinilai oleh seluruh rakyat Indonesia dan berpengaruh pada penegakan hukum," ujarnya.