Pelajaran untuk RUU Perampasan Aset, Presiden dan DPR Diminta Cermati Gugatan Soal Perpu PUPN di MK

Iwan Supriyatna Suara.Com
Selasa, 17 Juni 2025 | 11:46 WIB
Pelajaran untuk RUU Perampasan Aset, Presiden dan DPR Diminta Cermati Gugatan Soal Perpu PUPN di MK
Pengamat hukum yang juga pegiat antikorupsi Hardjuno Wiwoho.
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pengamat hukum sekaligus pegiat antikorupsi Hardjuno Wiwoho menyerukan agar Presiden Prabowo Subianto dan DPR RI mencermati secara seksama sidang Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara atau Perpu PUPN.

Gugatan ini bisa menjadi cermin awal untuk menguji sejauh mana sistem hukum Indonesia mampu membedakan antara upaya penyelamatan keuangan negara dan potensi penyalahgunaan kekuasaan.

“Saya kira, gugatan soal Perpu PUPN ini perlu dicermati. Apalagi pemerintah dan DPR sedang membahas RUU Perampasan Aset yang juga memberi kewenangan besar kepada pemerintah,” kata Hardjuno dalam keterangannya, Selasa (17/6).

Gugatan uji materil Perpu PUPN ini diajukan oleh seorang warga negara yang adalah pemilik Bank Centris Internasional, Andri Tedjadharma.

Andri menggugat persoalan mendasar mengenai kewenangan pemerintah dalam penagihan utang dan penyitaan aset.

Pada pukul 10.30 WIB, Selasa (17/6) pagi ini, dijadwalkan agenda sidang untuk mendengarkan saksi dari pemerintah/PUPN.

Mencermati risalah sidang MK terakhir di pekan lalu, Hardjuno mengatakan pokok masalah dari gugatan tersebut adalah pada lemahnya pengawasan terhadap proses penetapan obligor (pengutang) pemerintah, termasuk persoalan dokumen dan rekening yang diduga tidak sahih.

"Ini gila, pemerintah dalam hal ini PUPN dituduh menggunakan salinan keputusan MA , yang diduga palsu, yang digunakan untuk menetapkan Andri Tedjadharma berutang Rp 4,5 triliun pada pemerintah. Ini cermin bagi RUU Perampasan Aset yang jadi perhatian masyarakat," tandas Hardjuno.

Pernyataan Hardjuno itu merespons fakta-fakta yang diungkap dalam sidang MK.

Baca Juga: Penambangan Nikel di Raja Ampat Diduga Langgar Putusan MK, Begini Respons ESDM

Sebelumnya, dalam sidang beberapa waktu lalu, tersebut, ahli dari pemohon yaitu Maruarar Siahaan—mantan hakim konstitusi menyatakan keterkejutannya atas dua dugaan kejanggalan serius.

Pertama, nomor rekening di Bank Indonesia yang diduga bukan milik Bank Centris Internasional, tetapi tetap digunakan sebagai dasar transaksi dan tagihan. Kedua, salinan keputusan MA yang disebut sebagai dasar hukum tagihan negara, namun diduga tidak pernah teregister di MA.

Dalam kesaksiaannya di depan Hakim Ketua Suhartoyo, Maruarar menyebut hal ini sebagai ancaman terhadap kepastian hukum yang adil dan menyampaikan bahwa hukum bisa menjadi alat penindas jika tidak dikendalikan secara akuntabel oleh sistem peradilan.

“Maka jika benar ada salinan keputusan MA yang dipakai sebagai dasar tagihan, tetapi kemudian diduga palsu dan ini digunakan oleh pemerintah untuk merampas hak warga, maka ini masalah serius dalam konteks kepastian hukum,” terang Hardjuno.

“Begitu pula bila benar terjadi pemindahan dana ke rekening bank yang diduga bukan milik pihak yang ditagih, ini memperlihatkan urgensi pembenahan sistem hukum kita sebelum RUU Perampasan Aset disahkan,” ujar Hardjuno.

Meski tidak menilai isi gugatan, Hardjuno menekankan bahwa pemerintah membutuhkan instrumen hukum yang kuat untuk menyita aset hasil kejahatan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI