Suara.com - Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 terus menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Aturan yang mengatur pengendalian produk tembakau ini dinilai menimbulkan dampak luas, baik dari sisi hukum maupun ekonomi, karena dinilai tidak berpihak pada industri nasional dan minim mitigasi kebijakan bagi pihak-pihak yang terdampak.
Salah satu aspek yang menjadi sorotan utama adalah dugaan penggunaan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) sebagai acuan dalam penyusunan PP tersebut. Padahal, Indonesia secara resmi belum pernah meratifikasi perjanjian internasional yang disusun oleh WHO itu.
"FCTC itu sampai detik ini itu tidak diratifikasi oleh Indonesia. Sehingga secara konsepsi peraturan perundang-undangan itu tidak boleh dijadikan rujukan. Bahasa agamanya itu ya haram untuk dijadikan rujukan," ujar Pakar Hukum Universitas Trisakti, Ali Rido, seperti dikutip, Rabu (2/7/2025).

Ali Rido menyebut bahwa FCTC tidak dapat dijadikan dasar hukum karena bertentangan dengan prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, yang seharusnya merujuk pada Pancasila, UUD 1945, dan Undang-Undang.
Menurutnya, penggunaan FCTC dalam substansi PP 28/2024 mencerminkan dominasi agenda asing yang justru bertentangan dengan semangat kemandirian dan kedaulatan hukum nasional.
Sebagai solusi hukum, ia menyarankan dua langkah yang bisa diambil untuk meninjau kembali PP tersebut.
"Satu melalui executive review. Dalam hal ini karena PP 28/2024 itu dibentuknya oleh eksekutif. Yang kedua, melalui judicial review, dan ini memang harus ada yang merasa dirugikan," jelas Rido.
Ia juga menekankan pentingnya meaningful participation atau partisipasi publik yang bermakna dalam proses penyusunan kebijakan. Rido mengkritisi kemungkinan adanya pengaruh asing dalam proses tersebut.
"Meaningful participation ini kan melibatkan stakeholder yang terdampak. Dengan kata lain pihak asing itu yang tidak terdampak sehingga tidak perlu dilibatkan juga," tambahnya.
Baca Juga: Buruh Rokok Ungkap Dampak Terburuk Jika Pemerintah Tetap Naikkan Cukai Hasil Tembakau
Menurutnya, hanya melalui proses yang transparan dan akuntabel, regulasi bisa benar-benar mencerminkan kepentingan nasional, bukan agenda luar.
Dari sisi ekonomi, Peneliti Senior Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Deni Friawan, mengkritik minimnya kesiapan pemerintah dalam menghadirkan mitigasi ekonomi atas kebijakan yang berdampak langsung terhadap industri hasil tembakau.
Ia menyebut, meskipun arah kebijakan lebih menekankan pada aspek kesehatan, pemerintah tidak menyiapkan langkah-langkah antisipatif terhadap tekanan yang akan dihadapi oleh pelaku usaha kecil dan menengah. "Belum lagi dengan adanya kenaikan cukai rokok, dan membuat masyarakat mensiasati hal ini dan beralih ke rokok ilegal. Ini yang jadi masalah," ujarnya.
Deni menambahkan bahwa regulasi fiskal seperti kenaikan cukai dan pembatasan produksi seharusnya dibarengi dengan strategi perlindungan bagi sektor terdampak. Ia menekankan bahwa sektor UMKM dalam industri hasil tembakau akan menjadi pihak yang paling merasakan beban dari perubahan kebijakan ini, mengingat keterbatasan mereka dalam menghadapi dinamika regulasi yang cepat dan kompleks.
Deni menegaskan pentingnya keseimbangan antara upaya menjaga kesehatan publik dan mempertahankan keberlangsungan ekonomi masyarakat. Ia mendorong agar kebijakan seperti PP 28/2024 disusun dengan perencanaan matang, analisis dampak yang komprehensif, serta keterlibatan seluruh pemangku kepentingan, termasuk pelaku industri.
Sebelumnya, Ketua Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) Daerah Istimewa Yogyakarta, Waljid Budi Lestariyanto, menyuarakan penolakan keras terhadap regulasi ini dan mendesak pemerintah untuk melakukan deregulasi secara menyeluruh.
"Pastinya setuju dengan adanya deregulasi, apalagi pasal-pasal itu betul-betul membatasi ruang gerak ekosistem pertembakauan," ujarnya, seperti dikutip, Rabu (25/6/2025).
Waljid menjelaskan bahwa meskipun tujuan awal dari PP 28/2024 adalah mengatur pertembakauan, namun isi pasal-pasalnya justru berpotensi mematikan industri tersebut.
Ia menyoroti beberapa poin kontroversial, termasuk pembatasan terhadap iklan, promosi, dan sponsor produk tembakau, serta wacana penerapan kemasan rokok polos tanpa merek dagang dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) aturan turunan dari PP tersebut.
Lebih lanjut, Waljid menegaskan bahwa PP ini kini juga dijadikan acuan untuk revisi berbagai peraturan daerah mengenai Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Menurutnya, ini semakin mempersempit ruang gerak industri dan membuat aktivitas distribusi dan pemasaran produk menjadi sulit.