- Advert
- Advert
- Advert
Suara.com - Biaya kesehatan yang semakin mahal kini bukan lagi menjadi momok besar bagi masyarakat. Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan hadir sebagai jaminan perlindungan, memastikan semua warga negara memiliki akses layanan kesehatan yang adil dan merata. Dari pengobatan ringan hingga perawatan di rumah sakit, semua ditanggung melalui mekanisme gotong royong.
Salah satu peserta JKN yang turut merasakan manfaat tersebut adalah Budi (49), seorang guru sekolah dasar di Sukabumi. Ia mengaku banyak terbantu dengan adanya Program JKN, baik untuk dirinya maupun keluarganya. Baginya, JKN bukan hanya sekadar perlindungan kesehatan, tetapi juga bentuk kepastian di saat-saat tak terduga. Kehadiran program ini membuatnya merasa lebih tenang dalam menjalani aktivitas sehari-hari sebagai pendidik dan kepala keluarga.
“Saat ini saya sedang mengurus perubahan kepesertaan, sebelumnya saya mandiri karena sekarang saya sudah ada ikatan dinas, jadi saya mau ganti jadi segmen Pekerja Penerima Upah (PPU),” tutur Budi.
Dalam proses administrasi, ia mengaku sempat menemui kendala. Awalnya ia mencoba memanfaatkan layanan non tatap muka seperti Pelayanan Administrasi melalui WhatsApp (Pandawa) dan Mobile JKN. Namun, karena status kepesertaan sebelumnya tidak aktif dan masih memiliki tunggakan, ia pun diarahkan untuk datang langsung ke kantor BPJS Kesehatan. Di sana, ia baru memahami bahwa ada beberapa berkas yang memang harus ditandatangani langsung oleh peserta.
“Awalnya saya sudah mencoba layanan non tatap muka seperti Pandawa dan Mobile JKN, namun tidak bisa karena waktu itu status saya masih peserta mandiri dan tidak aktif. Akhirnya saya diarahkan datang langsung ke kantor BPJS Kesehatan. Di loket memang ada berkas yang harus ditandatangani sehingga tidak bisa dilakukan secara daring,” jelasnya.
Selain soal administrasi, Budi juga menceritakan pengalamannya ketika harus berobat ke fasilitas kesehatan (faskes). Ia menilai pelayanan sekarang jauh lebih praktis dibandingkan sebelumnya. Dulu, peserta harus membawa berbagai dokumen fisik dan mengisi banyak formulir, namun kini prosesnya cukup dengan menunjukkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) atau nomor kepesertaan BPJS Kesehatan.
“Alhamdulillah faskes mitra BPJS Kesehatan melayani dengan sangat baik. Sekarang lebih mudah mendaftar berobat, cukup menunjukkan NIK atau nomor peserta, tidak perlu lagi membawa berkas fisik dan mengisi formulir macam-macam. Jadi lebih cepat dan efisien,” ungkapnya.
Sebagai peserta, ia juga sempat mendengar stigma di masyarakat tentang perbedaan layanan antara pasien umum dan pasien BPJS Kesehatan. Ada anggapan bahwa layanan untuk peserta JKN lebih ribet atau lambat. Namun, berdasarkan pengalaman pribadinya, ia justru mendapatkan pelayanan yang sama baiknya tanpa pembedaan.
“Dulu saya sering dengar kabar kalau peserta BPJS Kesehatan dipersulit atau dibedakan dengan pasien umum. Tapi alhamdulillah, selama saya jadi peserta, saya tidak pernah mengalami hal itu. Dari awal pendaftaran sampai pulang berobat, semua pelayanan diberikan dengan baik dan profesional,” katanya.
Baca Juga: PDIP: BPJS Bukan Asuransi tapi Hibah Negara buat Rakyat!
Salah satu pengalaman yang paling berkesan bagi Budi adalah ketika ia harus menjalani rawat inap di rumah sakit karena infeksi saluran kemih. Kondisi tersebut muncul akibat kebiasaan buruk menahan buang air kecil dan kurang minum. Ia masih ingat betul, malam itu dirinya harus segera ditangani oleh tim medis.
“Saya pernah dirawat inap di salah satu rumah sakit di Sukabumi karena infeksi saluran kemih. Awalnya saya diperiksa di klinik lalu dirujuk ke rumah sakit. Malam itu juga saya langsung ditangani. Alhamdulillah, sampai sembuh saya mendapat pelayanan yang baik tanpa harus mengeluarkan biaya sama sekali,” ceritanya.
Tak hanya dirinya, keluarganya pun turut merasakan manfaat JKN. Istrinya pernah dua kali menjalani operasi caesar dan seluruh biayanya ditanggung penuh oleh BPJS Kesehatan. Bagi Budi, hal itu menjadi salah satu momen yang membuatnya sangat bersyukur karena terbebas dari beban biaya besar.
“Istri saya dua kali melahirkan secara caesar dengan BPJS Kesehatan. Saya sangat bersyukur, karena semua biaya ditanggung. Kalau membayar secara umum, mungkin sudah habis puluhan juta. Alhamdulillah, kami sama sekali tidak keluar uang,” ujarnya.
Meski begitu, ia menyadari masih ada sebagian masyarakat yang menganggap rugi ketika rutin membayar iuran tapi jarang menggunakan layanan kesehatan. Menurut Budi, justru di situlah letak nilai gotong royong yang sebenarnya. Ia sendiri selalu menganggap pembayaran iuran sebagai bentuk tabungan sekaligus amal.
“Saya pernah dengar ada yang bilang, ‘saya rutin bayar iuran tapi tidak pernah pakai BPJS Kesehatan, jadi rugi’. Kalau saya justru menganggap itu tabungan. Iuran yang saya bayar bisa membantu orang lain yang sedang membutuhkan layanan. Saya anggap sebagai amal dan sodaqah. Selama hidup, saya baru dua kali dirawat di rumah sakit,” jelasnya.