Rhenald Kasali di Sidang ASDP: Beli Perusahaan Rugi Itu Lazim, Hakim Punya Pandangan Berbeda?

M Nurhadi Suara.Com
Minggu, 05 Oktober 2025 | 15:25 WIB
Rhenald Kasali di Sidang ASDP: Beli Perusahaan Rugi Itu Lazim, Hakim Punya Pandangan Berbeda?
Prof Dr Rhenald Kasali dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), Jumat (3/10/2025).
Baca 10 detik
  • Saksi ahli Rhenald Kasali menyebut akuisisi perusahaan rugi adalah praktik bisnis lazim.
  • Menurut Rhenald, BUMN perlu mencari laba besar untuk meningkatkan pelayanan publik.
  • Metode hitung kerugian negara oleh jaksa dikritik karena mengabaikan aset tak berwujud.

“Lazimnya perusahaan-perusahaan itu tumbuh menjadi besar karena akuisisi perusahaan lain. Banyak contohnya,” kata Rhenald.

Ia menunjuk raksasa teknologi dunia sebagai bukti.

Google menjadi besar setelah mengakuisisi YouTube, dan Facebook merajai media sosial pasca-mencaplok Instagram dan WhatsApp.

Padahal, saat diakuisisi, kedua platform tersebut masih dalam kondisi merugi.

Dalam kesempatan yang sama, mantan Direktur Utama PT ASDP, Ira Puspadewi, yang duduk di kursi terdakwa, turut bertanya.

Ia memaparkan data konkret dampak akuisisi PT JN terhadap kinerja ASDP, di mana pangsa pasar (market share) melonjak dari 17 persen menjadi 33,5 persen.

Laba perusahaan pun terkerek naik 37,1 persen, dari Rp 326,3 miliar menjadi Rp 447,3 miliar.

“Layanan jalur jalur perintis pun menjadi lebih baik karena proporsi pendapatan dari jalur komersial naik dari 67 persen menjadi 80 persen,” kata Ira.

Menanggapi data tersebut, Rhenald Kasali menyebutnya sebagai contoh nyata dari sinergi.

Baca Juga: 24 Jam Nonstop Awasi Bos PT JN Adjie, KPK Gandeng Ketua RT, Kenapa?

“Sinergi itu bukan 1 tambah 1 sama dengan 2, tapi 1 tambah 1 sama dengan 3,” tegasnya.

Perdebatan semakin teknis ketika mantan direktur ASDP lainnya, Yusuf Hadi, menanyakan soal metode perhitungan aset yang digunakan jaksa, yakni scrapped approach, di mana aset perusahaan dinilai setara barang rongsokan.

Rhenald dengan tegas mengkritik metode tersebut.

“Perusahaan itu tak bisa dinilai hanya oleh ahli akuntansi dan dilihat dari nilai buku saja. Karena kalau di pasar, perusahaan yang punya nilai buku Rp 100 juta misalnya, itu punya nilai market sampai Rp 100 miliar di pasar saham. Karena ada unsur intangible asset,” jelasnya.

“Tapi mayoritas ahli akuntansi itu malas menghitung intangible asset.

Ia memprihatinkan penggunaan metode scrapped approach dalam menghitung kerugian negara.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI