- Saksi ahli Rhenald Kasali menyebut akuisisi perusahaan rugi adalah praktik bisnis lazim.
- Menurut Rhenald, BUMN perlu mencari laba besar untuk meningkatkan pelayanan publik.
- Metode hitung kerugian negara oleh jaksa dikritik karena mengabaikan aset tak berwujud.
Suara.com - Suasana ruang sidang kasus dugaan korupsi akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) menghangat, saat Hakim Ketua Sunoto melayangkan pertanyaan tajam kepada saksi ahli, Prof Dr Rhenald Kasali.
Sidang yang digelar pada Jumat (3/10/2025) ini fokus mendalami kelaziman praktik bisnis yang menjadi inti dari dakwaan jaksa.
Hakim Sunoto secara lugas menanyakan pandangan Rhenald Kasali, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia yang juga praktisi bisnis kawakan, mengenai logika di balik pembelian perusahaan yang sedang terpuruk.
“Menurut pandangan ahli, di dunia bisnis, bolehkan direksi perusahaan itu mengakuisisi perusahaan yang mungkin sedang rugi, bangkrut yang asetnya lebih kecil daripada utangnya. Apakah hal itu lazim?,” tanya Hakim ketua Sunoto.
Pertanyaan ini langsung menyasar pada dakwaan jaksa penuntut umum, yang menganggap akuisisi PT JN oleh PT ASDP tidak layak karena kondisi keuangan PT JN yang dinilai sedang menurun.
Menjawab secara tenang, Rhenald Kasali menegaskan praktik semacam itu bukan hal yang aneh dalam dunia korporasi global.
Ia bahkan memberikan contoh nyata untuk memperkuat argumennya.
“Itu biasa terjadi di bisnis. Saya contohkan ada sebuah perusahaan tambang di Peru kondisinya rugi, tapi perusahaan asal Amerika Serikat kemudian mengakuisisinya,” ujar Rhenald.
Ia melanjutkan ceritanya untuk menunjukkan bagaimana nilai sebuah perusahaan bisa berubah drastis di tangan manajemen yang tepat.
Baca Juga: 24 Jam Nonstop Awasi Bos PT JN Adjie, KPK Gandeng Ketua RT, Kenapa?
“Setelah dikelola perusahaan itu masih merugi juga dan akhirnya dibeli oleh perusahaan lain dari Rusia. Juga masih rugi. Akhirnya perusahaan itu dibeli perusahaan dari China. Dan Mereka punya manajemen teknologi yang bagus, sehingga perusahaan itu untung besar,” ujar Rhenald, yang memiliki pengalaman sebagai komisaris di berbagai BUMN besar seperti PT Telkom, PT Pos Indonesia, dan PT Angkasa Pura.
Hakim kemudian menguji Rhenald dengan pandangan lain, bahwa BUMN seharusnya lebih fokus pada pelayanan publik ketimbang agresif mencari laba lewat aksi korporasi seperti akuisisi.
Namun, Rhenald Kasali mengingatkan bahwa di tengah kondisi ekonomi global yang penuh ketidakpastian, BUMN justru harus inovatif dan tumbuh.
Menurutnya, laba besar bukan tujuan akhir, melainkan alat untuk mencapai tujuan yang lebih mulia: pelayanan publik yang lebih baik.
“BUMN harus punya laba besar agar bisa memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Bagaimana bisa memberikan pelayanan,” kata Rhenald.
Ia menganalogikan, pertumbuhan perusahaan di era ini bisa dilakukan secara anorganik, yaitu melalui akuisisi.
“Lazimnya perusahaan-perusahaan itu tumbuh menjadi besar karena akuisisi perusahaan lain. Banyak contohnya,” kata Rhenald.
Ia menunjuk raksasa teknologi dunia sebagai bukti.
Google menjadi besar setelah mengakuisisi YouTube, dan Facebook merajai media sosial pasca-mencaplok Instagram dan WhatsApp.
Padahal, saat diakuisisi, kedua platform tersebut masih dalam kondisi merugi.
Dalam kesempatan yang sama, mantan Direktur Utama PT ASDP, Ira Puspadewi, yang duduk di kursi terdakwa, turut bertanya.
Ia memaparkan data konkret dampak akuisisi PT JN terhadap kinerja ASDP, di mana pangsa pasar (market share) melonjak dari 17 persen menjadi 33,5 persen.
Laba perusahaan pun terkerek naik 37,1 persen, dari Rp 326,3 miliar menjadi Rp 447,3 miliar.
“Layanan jalur jalur perintis pun menjadi lebih baik karena proporsi pendapatan dari jalur komersial naik dari 67 persen menjadi 80 persen,” kata Ira.
Menanggapi data tersebut, Rhenald Kasali menyebutnya sebagai contoh nyata dari sinergi.
“Sinergi itu bukan 1 tambah 1 sama dengan 2, tapi 1 tambah 1 sama dengan 3,” tegasnya.
Perdebatan semakin teknis ketika mantan direktur ASDP lainnya, Yusuf Hadi, menanyakan soal metode perhitungan aset yang digunakan jaksa, yakni scrapped approach, di mana aset perusahaan dinilai setara barang rongsokan.
Rhenald dengan tegas mengkritik metode tersebut.
“Perusahaan itu tak bisa dinilai hanya oleh ahli akuntansi dan dilihat dari nilai buku saja. Karena kalau di pasar, perusahaan yang punya nilai buku Rp 100 juta misalnya, itu punya nilai market sampai Rp 100 miliar di pasar saham. Karena ada unsur intangible asset,” jelasnya.
“Tapi mayoritas ahli akuntansi itu malas menghitung intangible asset.”
Ia memprihatinkan penggunaan metode scrapped approach dalam menghitung kerugian negara.
“Beda sekali valuasi perusahaan yang sedang berjalan dengan perusahaan yang dianggap mati,” kata Rhenald.
Untuk memudahkan pemahaman, ia memberikan analogi sebuah rumah. Jika dinilai dengan metode scrappe, yang dihitung hanya nilai besi tua dan betonnya. Namun, jika rumah itu masih berfungsi, nilainya tentu jauh lebih tinggi.
“Manusia itu tidak bisa dinilai hanya sebagai tulangnya berapa, kukunya saja, tapi secara keseluruhan. Apalagi perusahaan tidak bisa dinilai asetnya dianggap scrapped karena ada intangible asset, mereknya, trayeknya SDM,” kata Rhenald.
Dalam kasus ini, jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa akuisisi PT JN telah merugikan negara sekitar Rp 1,25 triliun.
Kerugian ini dihitung menggunakan scrapped method dan mengabaikan pendekatan pendapatan income approach serta nilai aset tak berwujud (intangible asset) yang dimiliki PT JN.
Selain Ira Puspadewi dan Yusuf Hadi, kasus ini juga menyeret Harry Muhammad Adhi Caksono (mantan Direktur Perencanaan & Pengembangan) serta Adjie, pemilik PT JN, sebagai terdakwa.