Suara.com - Diana, bukan nama sebenarnya, belakangan ini memulai pagi dengan kebiasaan baru. Sebelum matahari terbit, ia rutin mengecek dan mengisi baterai mobil listriknya, sesuatu yang tak pernah ia lakukan ketika masih mengandalkan mobil berbahan bakar fosil. “Sejak memiliki mobil listrik, saya menjadi disiplin,” ujarnya.
Di tempat lain, Bobby juga membangun kebiasaan baru. Dengan mobilitas kerja yang tinggi, ia kini memasukkan perencanaan rute ke dalam rutinitas hariannya seperti menghitung kebutuhan daya, memastikan titik SPKLU, dan menghindari kejutan kehabisan baterai di tengah jalan. Baginya, beralih ke mobil listrik bukan sekadar mencoba teknologi baru, tetapi mengatur ulang cara ia mengelola waktu dan perjalanan.
Keduanya merupakan contoh dari kelompok early adopter (pengadopsi awal) mobil listrik di Indonesia. Mereka berani mengambil risiko, menjadi pelopor, serta bersedia merombak kebiasaan harian demi sebuah inovasi. Perubahan perilaku konsumen seperti ini terjadi di tengah pasar yang bergerak cepat.
Namun di tengah tren positif tersebut, pemerintah justru tengah mempertimbangkan penghentian insentif bagi industri otomotif karena menilai sektor ini sudah cukup kuat. Jika kebijakan ini diterapkan, harga mobil listrik dan mobil hybrid bisa melonjak tanpa sokongan fiskal, khususnya bagi yang belum memenuhi syarat tingkat komponen dalam negari (TKDN) minimal 40 persen. Meski begitu, keputusan belum final. Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut insentif akan dihentikan pada 2026, sementara Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita berpendapat pemerintah justru perlu menyiapkan insentif untuk tahun depan.
Data menunjukkan bahwa penjualan mobil listrik melonjak, menguasai 18,27% pangsa pasar pada 2025. Investasi kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) pun menembus Rp 5,66 triliun tahun ini. Dalam tiga tahun terakhir, penjualan mobil listrik berkembang signifikan. Menurut GAIKINDO, jumlah battery electric vehicle (BEV) naik dari 15.318 unit pada 2023 menjadi 43.188 unit pada 2024, dan sudah menembus 51.191 unit hanya dalam delapan bulan pertama 2025. Kenaikan ini terjadi di tengah target ambisius pemerintah untuk mencapai 2 juta unit mobil listrik pada 2030 sebagai bagian dari agenda transisi energi nasional.
Namun, kondisi pasar yang masih didominasi oleh early adopter dan sebagian early majority (pengikut dini) menunjukkan bahwa penerimaan masyarakat umum masih terbatas dan membutuhkan dukungan lebih kuat agar pasar dapat berkembang lebih luas.
Riset ID COMM, sebuah firma PR berbasis isu SDGs, menunjukkan bahwa adopsi mobil listrik di Indonesia masih digerakkan oleh pertimbangan ekonomi, mulai dari hematnya biaya operasional hingga adanya insentif fiskal. Penggunanya pun didominasi kalangan menengah atas di wilayah urban yang sebelumnya telah memiliki mobil konvensional. Melalui laporan Menuju Era Mobil Listrik: Sejauh Mana Indonesia Siap, riset ini memetakan hambatan dan peluang utama dalam adopsi mobil listrik sebagai masukan strategis bagi para pemangku kepentingan. Temuan ini menegaskan bahwa pertumbuhan pasar tidak hanya ditentukan oleh dorongan kebijakan, tetapi juga bergantung pada bagaimana ekosistem mampu menjawab kebutuhan dan kekhawatiran konsumen.
Di balik upaya pemerintah dalam mendorong percepatan program bermotor listrik itu, terdapat dinamika lain yang tidak kalah penting yaitu kesiapan ekosistem dan kepercayaan publik.
Kebijakan pemerintah
Baca Juga: BCA Syariah WEpreneur Summit 2025: Dukung UMKM Perempuan Berdaya, Tumbuh, dan Memimpin
Terlepas dari pertimbangan untuk mencabut insentif mobil listrik dan mobil hybird, terutama kategori completely built up (CBU) tahun depan, kebijakan kendaraan listrik di Indonesia berkembang sejak 2019, bergerak dari tahap perintisan menuju penguatan ekosistem. Perpres No. 55/2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai menjadi pijakan awal percepatan program kendaraan listrik, yang kemudian diperkuat oleh berbagai aturan turunan di tingkat kementerian hingga pemerintah daerah.
Secara umum, regulasi-regulasi ini bertujuan mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan menekan emisi gas rumah kaca. Untuk membaca arah kebijakan secara utuh, tim riset juga memetakan regulasi di sepanjang rantai pasok industri mobil listrik, yaitu mulai dari penambangan bahan baku hingga daur ulang komponen.
Keseluruhan kebijakan tersebut dirancang untuk membangun sistem kendaraan listrik yang terintegrasi dari hulu ke hilir, mencakup aspek fiskal, industri, infrastruktur, hingga pengelolaan akhir masa pakai. “Kebijakan menjadi simpul yang menghubungkan pemerintah, swasta, dan masyarakat, sehingga tidak hanya berperan sebagai alat pengatur, tetapi juga katalis yang mendorong kolaborasi lintas sektor untuk menghadirkan solusi yang adaptif bagi kebutuhan sosial dan ekonomi,” menurut studi ID COMM.
Wawancara dengan pemilik mobil listrik menunjukkan bahwa keputusan membeli tidak hanya didorong faktor ekonomi, seperti hemat biaya operasional, tetapi juga motivasi sosial dan emosional. Banyak responden merasa bangga menjadi pengguna awal dan menikmati pengalaman berkendara yang lebih halus, senyap, dan modern. Meski demikian, mereka masih menghadapi sejumlah kekhawatiran, mulai dari jarak tempuh dan ketersediaan SPKLU hingga layanan purnajual.
Suara konsumen
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi konsumen dalam pembelian mobil listrik. Menurut riset ini, hal yang paling menentukan adalah aspek ekonomi dimana biaya operasional jauh lebih hemat, terutama bagi konsumen dengan mobilitas tinggi. Insentif pajak juga memperkuat minat karena pajak tahunan mobil listrik jauh lebih rendah, yaitu sekitar Rp150.000.