Terhadap tuntutan THR ini, Pemerintah pun mulai terlibat dengan menciptakan beberapa inisiatif hingga berencana mewajibkan pemberian THR bagi mitra platform digital yang tentunya juga menuai pro dan kontra.
Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) mendesak pemerintah agar menetapkan regulasi yang mewajibkan perusahaan ride-hailing memberikan THR dalam bentuk tunai, bukan insentif.
Namun, kebijakan ini dinilai dapat menjadi beban tambahan bagi perusahaan dan berisiko menghambat pertumbuhan industri ini ke depan.
Apalagi saat ini, perusahaan berbasis platform digital masih menghadapi tantangan keuangan, meskipun beberapa sudah mencapai profitabilitas.
Jika biaya tambahan seperti THR diwajibkan, tentu akan menambah beban baru dan keberlangsungan jangka panjang perusahaan akan terkena dampaknya.
Bisa saja perusahaan memilih untuk menaikkan harga tarif layanan yang pada akhirnya berdampak pada konsumen.
Perusahaan juga bisa melakukan penghapusan program-program benefit untuk mitra yang selama ini telah diberikan, atau bahkan terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja secara massal untuk mengurangi biaya operasional.
Belajar dari kasus di Inggris, ketika Uber diwajibkan membayar tunjangan tambahan bagi mitranya, harga layanan naik sebesar 10-20%.
Namun, dampaknya adalah penurunan permintaan hingga 15%, yang justru merugikan pengemudi dan perusahaan. Jika kebijakan serupa diterapkan di Indonesia, ada potensi efek domino yang dapat menekan industri ini secara keseluruhan.
Baca Juga: Jadwal Pencairan THR ASN 2025, Segera di Bulan Maret, Berapa yang Didapat?
Tuntutan THR bagi mitra pengemudi platform digital di Indonesia menimbulkan polemik di kalangan industri dan akademisi.