THR untuk Pekerja Gig: Hak atau Beban Baru?

Vania Rossa Suara.Com
Rabu, 26 Februari 2025 | 22:03 WIB
THR untuk Pekerja Gig: Hak atau Beban Baru?
Ilustrasi gig economy / pekerja lepas / freelancer (freevectors)

Bisa saja perusahaan memilih untuk menaikkan harga tarif layanan yang pada akhirnya berdampak pada konsumen. 

Perusahaan juga bisa melakukan penghapusan program-program benefit untuk mitra yang selama ini telah diberikan, atau bahkan terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja secara massal untuk mengurangi biaya operasional.

Belajar dari kasus di Inggris, ketika Uber diwajibkan membayar tunjangan tambahan bagi mitranya, harga layanan naik sebesar 10-20%. 

Namun, dampaknya adalah penurunan permintaan hingga 15%, yang justru merugikan pengemudi dan perusahaan. Jika kebijakan serupa diterapkan di Indonesia, ada potensi efek domino yang dapat menekan industri ini secara keseluruhan.

Tuntutan THR bagi mitra pengemudi platform digital di Indonesia menimbulkan polemik di kalangan industri dan akademisi. 

Direktur Eksekutif Modantara, Agung Yudha, menyoroti bahwa industri on-demand telah berupaya menjaga kesejahteraan mitra melalui berbagai program seperti bantuan modal usaha dan beasiswa. 

Ia mengingatkan bahwa regulasi yang tidak seimbang dapat menghambat pertumbuhan bisnis dan berisiko mengurangi program kesejahteraan jangka panjang bagi mitra. 

Selain itu, sektor ini telah berkontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional dengan fleksibilitas kerja yang menjadi daya tarik utama. 

Data menunjukkan bahwa jutaan pekerja gig, termasuk 1,8 juta di layanan ride-hailing, bergantung pada model bisnis ini. Dan, kebijakan yang tidak tepat dapat menyebabkan mereka kehilangan akses terhadap sumber pendapatan utama.

Baca Juga: Jadwal Pencairan THR ASN 2025, Segera di Bulan Maret, Berapa yang Didapat?

Mantan Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri, menegaskan bahwa status kemitraan mitra pengemudi tidak menjadikan mereka berhak atas THR, dan kebijakan populis tanpa dasar hukum dapat merugikan iklim investasi serta keberlanjutan industri digital. 

Jika sektor ini terhambat akibat regulasi yang kurang tepat, jutaan mitra berisiko kehilangan akses terhadap pekerjaan fleksibel yang telah menjadi sumber penghidupan mereka. 

Sebagai alternatif, ia menyarankan perlindungan sosial berbasis kontribusi bagi pekerja gig. 

Regulasi yang responsif dan inklusif menjadi kunci agar sektor ini tetap tumbuh tanpa mengorbankan kesejahteraan mitra maupun keberlanjutan industri.

Sejauh ini, setiap platform ride-hailing memiliki pendekatan unik dalam mendukung mitra pengemudi mereka. 

Grab, misalnya, menawarkan berbagai keuntungan melalui GrabBenefits, termasuk diskon servis kendaraan, asuransi kesehatan dan kecelakaan, akses kredit, serta dana santunan bagi keluarga mitra dalam situasi darurat. 

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI