Prof Yuda mengungkapkan bahwa secara umum pendarahan otak terjadi akibat dua kondisi utama, yakni adanya sumbatan pembuluh darah atau pecahnya pembuluh tersebut.
Dia mengibaratkan sistem suplai darah ke otak seperti pipa yang menyalurkan oksigen dan nutrisi dari jantung ke seluruh bagian otak.
“Pendarahan otak bisa karena pipanya tersumbat atau pecah. Kalau pecah, bisa karena pipa itu sudah rapuh atau karena adanya tekanan darah yang sangat tinggi,” katanya, dikutip dari Antara, Kamis (10/4/2025).
"Kalau tekanan darah tinggi sudah berlangsung lama, dinding pembuluh darah bisa menipis seperti balon yang ditiup terus-menerus. Sampai suatu titik, pembuluh itu tidak tahan dan akhirnya pecah," katanya.
Data dari Kementerian Kesehatan mencatat bahwa hipertensi menjadi faktor risiko utama penyakit kardiovaskular di Indonesia, termasuk stroke dan pendarahan otak.
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi hipertensi di Indonesia mencapai 34,1 persen. Angka ini menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga masyarakat Indonesia memiliki tekanan darah tinggi, sebagian besar tidak menyadarinya.
Dalam kasus pendarahan otak, darah yang keluar dari pembuluh pecah akan menekan struktur otak di sekitarnya. Karena otak berada dalam ruang tertutup (tengkorak), tekanan tambahan dari darah bisa mengganggu fungsi otak dan menyebabkan hilangnya kesadaran.
Pecah Pembulu Darah Otak
Kasus pembuluh darah otak pecah bisa berakibat fatal jika tidak ditangani segera. Kondisi ini umumnya dipicu oleh tekanan darah yang terlalu tinggi atau kelainan pada struktur pembuluh darah itu sendiri.
Menurut Prof Yuda Turana, pembuluh darah otak pecah kerap terjadi pada pasien yang memiliki riwayat tekanan darah tinggi atau hipertensi kronis.