Suara.com - Calon gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menanggapi hasil riset Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta terhadap warga korban gusuran yang tinggal di Rumah Susun. Mereka disebut tidak sejahtera. Mereka kesulitan memenuhi hidup sehari-sehari dan menunggak biaya sewa rusun.
Ahok mengaku heran. Sebab Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah memberikan harga Rusun lebih murah dibanding sewa rumah di bantaran sungai.
"Sebetulnya kalau kamu tanya sama mereka yang sewa sewa dipinggir sungai itu Rp450 ribu, kita tuh cuma bayar Rp 5 Ribu sehari, Rp 150 ribu (sebulan)," ujar Ahok di Jalan Lapangan Tembak, Cilandak Timur, Jakarta Selatan, Rabu (21/12/2016)
Tak hanya itu, Ahok menuturkan Pemprov DKI Jakarta juga telah menyediakan transportasi, sarana kesehatan dan pendidikan gratis bagi penghuni rusun. Selain itu, juga pihaknya juga menyediakan operasi pasar yang menjual sembako, dengan harga terjangkau bagi semua penghuni rusun.
"Kamu naik bus nggak bayar, logikanya kalau kamu ngaku miskin, ko kredit motor, tapi kita sediakan naik bus nggak bayar. Anak anda naik bus nggak bayar, kasih KJP lagi, terus operasi pasar terus ada dokter lagi. Kamu tahu nggak kesehatan nggak bayar, pendidikan nggak bayar, transportasi nggak bayar, perumahan hampir nggak bayar, Tapi 150 ribu (sebulan), sembako juga operasi pasar terus. Jadi gimana ada pelanggaran saya nggak ngerti lagi," kata dia.
Sebelumnya, LBH Jakarta juga meriset biaya transportasi yang meningkat yang dikeluhkan penghuni rusun. Mantan Bupati Belitung Timur itu juga mengaku heran banyak warga rusun yang masih mengeluhkan soal akses. Pasalnya, ketika memindahkan warga gusuran ke rumah rusun, Ahok telah mempertimbangkan semua faktor yang akan terjadi.
"Walaupun dia aksesnya jauh kan masih tetap di Jakarta. Akses jauh kalau kamu bayar transport, kamu bayar transport nggak? kan nggak. Jadi harus diperhatikan itu faktor, kenapa saya pikirkan," kata Ahok.
Ahok tak habis pikir warga korban gusuran Jakarta yang masih mengeluhkan soal biaya akses yang jauh. Ia pun membandingkan orang-orang yang mencari kerja ke luar kota hingga ke luar negeri, yang tak pernah mengeluhkan biaya transportasi.
"Kalau masih di Jakarta, jauh berapa sih, orang kalau nggak ada uangnya kerja dimana, Kalimantan bahkan jadi TKI, TKW juga mau, ini masih Jakarta. Terus kita tanya orang kerja di Jakarta (yang gaji) Rp3 juta lebih itu (mereka) dari mana? Bogor, Depok, Bekasi. Kok mereka nggak pernah ngeluh jauh, iya kan," paparnya.
Baca Juga: Ngadu ke Mendagri, ACTA Minta Ahok Dipecat dari Gubernur DKI
Sebelumnya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta merilis kondisi warga korban penggusuran Pemerintah Provinsi DKI yang kini tinggal di rumah susun. Berdasarkan hasil riset LBH Jakarta terhadap warga korban penggusuran sejak era pemerintahan Gubernur DKI Sutiyoso hingga Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) kondisi mereka yang kini tinggal di rusun ternyata tidak sejahtera.
Rusun selalu dikampanyekan sebagai solusi utama bagi korban penggusuran sejak era Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso hingga Ahok. Mereka selalu menjanjikan kehidupan warga yang dipindah di Rusun jadi lebih sejahtera karena memperoleh banyak bantuan jaminan sosial dari pemerintah.
LBH menemukan, pengeluaran warga meningkat drastis dan kondisi ekonomi mereka semakin sulit sejak tinggal di Rusun. Survei menemukan 66.7 persen warga mengaku hanya membayar Rp0-Rp100 ribu perbulan untuk biaya sewa atau perawatan rumah sebelum digusur. Namun setelah digusur 35 persen warga mengalami peningkatan pengeluaran sewa hingga Rp100 ribu-Rp200 ribu (rumah lama hanya 11 persen) dan 42 persen sejumlah Rp200 ribu-Rp300 ribu (rumah lama hanya 7 persen). 18 persen mengaku membayar diatas Rp300 ribu per bulan.
Kemudian biaya lain yang mengalami peningkatan antara lain biaya konsumsi, biaya tagihan air, biaya tagihan listrik, dan biaya transportasi publik.
"Sebanyak 45.8 persen warga menyatakan mengeluarkan diatas Rp300 ribu perbulan ketika tinggal di Rusun," tutur dia.
Dia menambahkan, tingkat pengangguran meningkat sejak warga dipindah tinggal di rusun.