Suara.com - Mata jutaan warga dan tokoh-tokoh dunia, kini mendelik tajam ke arah Myanmar. Konflik berdarah militer negeri itu dengan etnis minoritas Rohingya kembali pecah.
Konflik militer-Rohingya kembali menyeruak tatkala gerilyawan The Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) menyerbu pos kepolisian dan membunuh 30 orang aparat di daerah Rakhine, Jumat (25/8) pekan lalu.
Pascainsurgensi ARSA, militer Myanmar menerapkan operasi militer di wilayah Rakhine, kawasan yang didiami etnis Rohingya. Dalam operasi militer sepekan terakhir, sedikitnya 400 warga Rohingya tewas. Rumah-rumah dibakar. Sementara 38 ribu lainnya melarikan diri ke daerah perbatasan Bangladesh.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Gutteres menyebut konflik berdarah di Myanmar tersebut sebagai "malapetaka kemanusiaan". Sedangkan Human Rights Watch (HRW)—lembaga pemantau HAM berbasis di New York—menyebut aksi militer itu sebagai "kejahatan melawan kemanusiaan."
Kantor sekretariat pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi maupun militer menyebut operasi tersebut dilakukan untuk memberantas "teroris Islam" yang bersembunyi di Rakhine.
Klaim resmi Myanmar tersebut disambut oleh banyak pemimpin maupun warga dunia, dengan argumentasi bersifat keagamaan.
“Telah terjadi genosida Muslim Rohingya di sana. Mereka tetap diam terhadap ini... Semua yang melihat dari jauh genosida ini dilakukan di bawah kerudung demokrasi juga bagian dari pembunuhan massal ini," kata Erdogan pada perayaan Idul Adha yang diadakan Partai AK di Istanbul, Jumat (1/9/2017), waktu setempat.
Sementara di Indonesia, terjadi gelombang protes dari politikus, organisasi massa, maupun individu yang juga menilai konflik itu dipicu kebencian etnis maupun berlatar agama.
Namun klaim konflik Rohingya itu dilatari prasangka agama maupun kebencian etnis, tak sepenuhnya terafirmasi.
Baca Juga: Setara: Indonesia Harus Pelopori Invervensi Kemanusiaan Rohingya
Profesor Sosiologi Columbia University, Saskia Sassen, misalnya,dalam artikelnya yang diterbitkan The Guardian, 9 Januari 2017, memberikan perspektif lain atas konflik berdarah tersebut.
"Dalam penelitianku, persoalan agama dan etnisitas hanya bagian dalam penjelasan kenapa pembantaian Rohingya terjadi. Tapi, persoalan utamanya bukan kedua hal itu, melainkan perampasan tanah oleh militer untuk kepentingan perusahaan besar. Ini bermotif ekonomi," tulis Saskia.
Perampasan Tanah
Dua dekade terakhir terjadi peningkatan akuisisi atau perpindahan kepemilikan lahan garapan dari warga ke perusahaan-perusahaan besar yang bergerak dalam usaha pertambangan, kayu, pertanian, dan air, di seluruh dunia.
Dalam kasus Myanmar, merujuk buku laporan Centre on Housing Rights and Evictions (COHRE) tahun 2007 berjudul "Displacement And Dispossession: Forced Migration and Land Rights, Burma", pihak militer telah menguasai hamparan tanah garapan secara luas dari petani-petani kecil sejak tahun 1990-an.