Komisi B DPRD Jakarta akan memanggil Kepala Dinas Perhubungan Jakarta Andri Yansyah.
Hal itu terkait rapat yang akan dilakukan pada Selasa (9/1/2018). Rapat ini menyangkut putusan Mahkamah Agung yang membatalkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 195 Tahun 2014 Tentang Pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor di Jalan M. H. Thamrin hingga Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Putusan MA Nomor 57 P/HUM/2017. Peraturan tersebut diterbitkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat.
"Mau tanya (dishub) seperti apa solusi yang terbaik dengan dampak dicabutnya oleh MA," ujar anggota DPRD Jakarta dari Komisi B Syarifudin, Senin (8/1/2018).
Syarifudin sebenarnya mendukung kebijakan pembatasan rute sepeda motor di jalur protokol. Ia khawatir kalau kendaraan roda dua diatur, jalanan utama akan kembali semrawut.
"Kita kan juga perlu menata mengatur masalah ketertiban di jalan raya, mengingat kecelakaan yang kejadian roda dua cukup tinggi di Jakarta," katanya.
"Yang jelas akan semrawut (kalau motor boleh lewat). Pembangunan sedang berjalan, seperti MRT. Apalagi pertumbuhan roda dua di Jakarta tinggi," Syarifudin menambahkan.
Dalam rapat, Syarifudin ingin peredaran kendaraan roda dua tetap dibatasi.
"Kita ingin adanya suatu pengaturan pengguna roda dua, tapi semua harus terakomodir dengan baik," katanya.
MA mengabulkan permohonan Yuliansah Hamid dan Diki Iskandar.
Ketua majelis hakim agung Irfan Fachruddin menilai Pasal 1 dan Pasal 3 Pergub DKI Nomor 195 Tahun 2014 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Pasal 133 ayat 1 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 11 UU Hak Asasi Manusia, serta Pasal 5 dan 6 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Berdasarkan putusan tersebut, MA menyatakan pemohon mengganggap adanya kerugian hak dengan adanya peraturan obyek keberatan Hum a quo karena tidak berkeadilan dan diskriminatif terhadap pengendara sepeda motor.
Pergub tersebut membuat banyak penjual jasa ojek pangkalan maupun ojek berbasis aplikasi online sulit mencari nafkah di jalur protokol.
"Para pemohon sebagai golongan menengah kebawah, dianggap sebagai penyebab terjadinya kemacetan sedangkan pemohon II adalah pengendara sepeda motor dan sepeda motor dijadikan sebagai alat pencari nafkah," kata Irfan. [Ummi Hadyah Saleh]
Hal itu terkait rapat yang akan dilakukan pada Selasa (9/1/2018). Rapat ini menyangkut putusan Mahkamah Agung yang membatalkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 195 Tahun 2014 Tentang Pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor di Jalan M. H. Thamrin hingga Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Putusan MA Nomor 57 P/HUM/2017. Peraturan tersebut diterbitkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat.
"Mau tanya (dishub) seperti apa solusi yang terbaik dengan dampak dicabutnya oleh MA," ujar anggota DPRD Jakarta dari Komisi B Syarifudin, Senin (8/1/2018).
Syarifudin sebenarnya mendukung kebijakan pembatasan rute sepeda motor di jalur protokol. Ia khawatir kalau kendaraan roda dua diatur, jalanan utama akan kembali semrawut.
"Kita kan juga perlu menata mengatur masalah ketertiban di jalan raya, mengingat kecelakaan yang kejadian roda dua cukup tinggi di Jakarta," katanya.
"Yang jelas akan semrawut (kalau motor boleh lewat). Pembangunan sedang berjalan, seperti MRT. Apalagi pertumbuhan roda dua di Jakarta tinggi," Syarifudin menambahkan.
Dalam rapat, Syarifudin ingin peredaran kendaraan roda dua tetap dibatasi.
"Kita ingin adanya suatu pengaturan pengguna roda dua, tapi semua harus terakomodir dengan baik," katanya.
MA mengabulkan permohonan Yuliansah Hamid dan Diki Iskandar.
Ketua majelis hakim agung Irfan Fachruddin menilai Pasal 1 dan Pasal 3 Pergub DKI Nomor 195 Tahun 2014 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Pasal 133 ayat 1 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 11 UU Hak Asasi Manusia, serta Pasal 5 dan 6 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Berdasarkan putusan tersebut, MA menyatakan pemohon mengganggap adanya kerugian hak dengan adanya peraturan obyek keberatan Hum a quo karena tidak berkeadilan dan diskriminatif terhadap pengendara sepeda motor.
Pergub tersebut membuat banyak penjual jasa ojek pangkalan maupun ojek berbasis aplikasi online sulit mencari nafkah di jalur protokol.
"Para pemohon sebagai golongan menengah kebawah, dianggap sebagai penyebab terjadinya kemacetan sedangkan pemohon II adalah pengendara sepeda motor dan sepeda motor dijadikan sebagai alat pencari nafkah," kata Irfan. [Ummi Hadyah Saleh]