Suara.com - Opini Tsamara Amany, Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia, mengenai sejarah peran pemuda dalam pentas politik Indonesia, serta anjurannya agar kaum muda milenial berjuang melalui partai politik, menuai kritik dalam kerangka polemik.
Tsamara, dalam tulisan opini di salah satu media daring nasional berjudul ”Anak Muda Mental Penjilat?”, menyebut aksi-aksi massa tak lagi menjadi alat ampuh untuk mengintervensi kebijakan politik dan pemerintahan.
Menurutnya, jalan ”ekstra-parlementer” seperti itu ampuh pada era 1966 dan juga 1998, tapi tidak untuk era kekinian.
Sebabnya, Tsamara menilai aksi massa kaum muda pada era ’66 dan medio ’90an merupakan satu-satunya pilihan tatkala rezim yang ada cenderung otoriter.
Ia mencontohkan, Presiden pertama RI Bung Karno yang menerapkan sistem Demokrasi Terpimpin sehingga membuat kaum muda tak leluasa memberikan masukan. Hal yang sama juga terjadi pada era Orde Baru, tatkala Presiden Soeharto membungkam kaum oposan.
Namun, pada era kekinian, Tsamara menilai beragam saluran menyampaikan kritik cenderung terbuka, sehingga aksi massa tak lagi relevan.
Ia lantas menganjurkan kaum muda berjuang "masuk ke dalam sistem", seperti menjadi anggota partai politik.
Hal itulah yang ia lakukan, dengan menjadi kader sekaligus pemimpin PSI dan mendukung Presiden Joko Widodo. Tapi, Tsamara mengakui pilihannya itu banyak menuai cibiran.
Kritik
Baca Juga: Pola Permainan Sudah Terbaca Bhayangkara, Teco Tetap Pede
Kritik pertama dilancarkan Ariel Heryanto, profesor program studi Indonesia di Monash University, Australia, sekaligus Deputi Direktur Monash Asia Institute.
Melalui akun Twitter miliknya, Ariel menilai Tsamara tak memahami sejarah politik kaum muda Indonesia, terutama pada era 1960-an dan 1990-an.
"Saya hormat pada komitmen anak muda ini. Selagi muda, masih banyak PR-nya. Termasuk memahami lebih baik sejarah politik masa lampau, khususnya kurun dekade 1960an. Pemahaman masa lampau yang cacat akan berdampak pada wawasannya pada politik masa kini," tulis Ariel, Selasa (20/3/2018).
Menurutnya, opini Tsamara yang menafsirkan sistem Demokrasi Terpimpin era Soekarno sama seperti era Orba—yakni membungkam kritik—justru tak berdasar.
”Yang ditulisnya tentang tahun 1960an itu hasil hapalan dari bahan indoktrinasi dan propaganda Orde Baru yang dikritiknya sendiri,” tulis Ariel.
”Salah satu pokok yang paling serius dari propaganda Orba adalah pandangan ’Sistem Demokrasi Terpimpin Bung Karno membuat anak muda tak bisa dengan leluasa memberikan masukan.’ Leluasa bagi kaum muda ’kiri’ seusia Tsamara, dan tidak bagi yang ’kanan’ yang promiliter dan Amerika Serikat,” tambahnya.
Sementara seorang perempuan aktivis mahasiswa bernama Asterlyta Putrinda, melalui laman Blogspot, juga melancarkan kritik atas opini Tsamara.
Menurutnya, anjuran Tsamara agar kaum muda berjuang melalui parpol peserta pemilu justru mengaburkan akar persoalan pemuda maupun masyarakat.
”Masuk ke dalam politik praktis bukan jalan yang tepat, atau bahkan justru menyesatkan,” tukasnya.
Ia menjelaskan, Indonesia memunyai kaum muda yang terbilang besar. Tapi, beragam kebijakan liberalisasi pendidikan membuat banyak kaum muda miskin tak mampu mengakses pendidikan tinggi.
”Alhasil, kaum muda yang banyak ini menghadapi masalah besar seperti pengangguran. Sementara yang mengenyam pendidikan juga harus menghadapi persoalan minimnya lapangan pekerjaan. Lalu apa peran politik praktis kepada pemuda ini? Mampu membebaskan? Atau Tsamara secara individualis hanya berbicara tentang kepentingan borjuasi,” tuturnya.
Putrinda juga mengkritik kesimpulan Tsamara bahwa aksi massa tak lagi relevan dilakukan kaum muda kekinian.
Menurutnya, hal yang terjadi justru sebaliknya, aksi-aksi massa yang juga dimotori kaum muda di Indonesia maupun negara-negara lain justru semakin marak.
Ia mencontohkan, aksi massa pemuda dan elemen masyarakat lain di Filipina, India, Kamboja, Eropa, Afrika, Amerika latin, bahkan di Amerika Serikat sendiri, justru semakin marak.
Hal itu disebabkan beban krisis ekonomi yang dilimpahkan negara-negara Imperialis—pemodal besar berskala internasional—kepada rakyat di dunia semakin besar dan parah.
”Dengan perjuangan rakyat di dunia yang justru kian meningkat, Tsamara malah menegasikan kenyataan tersebut? Jelas, pikiranmu tidak objektif. Belajarlah berjuang dengan buruh dan petani agar pikiranmu tidak kabur, jangan malah belajar sama Jokowi untuk politik 2019, politik borjuasi.”
Ia menjelaskan, mengikuti pilihan Tsamara untuk berjuang melalui parpol dan mengikuti pemilu justru akan membuat kaum muda terjebak pada tema-tema persoalan elitis.
”Saya bukan antipartai, tapi memang tidak ada satu pun partai Indonesia yang berani menyentuh isu perampasan dan monopoli tanah, politik upah murah, penggusuran, dan isu rakyat lainnya. Akhirnya, kaum muda justru membawa kepentingan pertarungan elite negara atas oposisi elitenya,” tukasnya.
Terima Kritik
Tsamara, kepada Suara.com, Kamis (22/3/2018), mengakui opini dirinya menjadi polemik terutama melalui media-media sosial.
“Saya sih senang saja. Salah satu tujuan menulis bagi saya adalah membuka ruang diskusi,” tuturnya.
Mengenai kritik yang dilancarkan kepadanya, Tsamara memberikan jawaban diplomatis.
“Meski tentu saya tetap memiliki pandangan sendiri terkait tulisan saya dan sudah saya tuangkan secara utuh argumennya, tapi sekali lagi, ruang diskusi termasuk kritik dan saran, apalagi datang dari tokoh seperti Profesor Ariel harus dianggap sebagai bentuk kepedulian terhadap anak muda,” tuturnya.
Sementara mengenai penilaiannya bahwa aksi massa tak lagi relevan bagi kaum muda, Tsamara menuturkan, “Setiap orang memunyai cara pandangnya masing-masing. Saya hargai (perbedaan) itu dan dengan senang hati saling belajar,” tandasnya.