Suara.com - Kampung Naga di Tasikmalaya, Jawa Barat tidak perti daerah lain. Tak ada atribut parpol dan suasana perbedaan memilih di sana. Bagi warganya, hak politik itu masing-masing. Uniknya, jika ada parpol atau calon presiden dan wakil presiden yang ingin kampanye, harus bersamaan.
Wilayahnya hanya 1,5 hektare dalam satu rukun tetangga yang dihuni oleh 294 jiwa namun keberadaan kampung ini merupakan magnet dan mengundang siapa saja yang ingin mengetahui lebih dalam.
Tidak seperti namanya yang berkonotasi pada mitos reptil raksasa, Kampung Naga di Dusun Naga, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, hanyalah kampung kecil tetapi tetap kokoh memegang teguh adat dan nilai-nilai karuhun atau leluhur mereka.
Meskipun tak berstatus resmi sebagai desa wisata adat, desa ini banyak dikunjungi wisatawan domestik dan mancanegara yang tertarik dengan adat istiadat dan ciri khas penduduknya, kerap ditulis berbagai media yang menayangkan atau menceritakan pesona alam dan kesahajaan penduduknya mempertahankan kearifan lokal.
Bisa dibilang, saat berkunjung ke Jawa Barat, terutama di sekitar Kabupaten Garut, Kabupaten Garut Selatan, Kabupaten Tasikmalaya, Kota Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis, atau dari Kota Bandung, sekalipun, kurang afdol bila tak menyambangi kampung yang berada di lembah dan perbukitan. Konon nama kampung itu diambil dari istilah bahasa Sunda, Na Gawir, atau tempat yang ada di lembah.
Tak ada manuskrip atau catatan sejarah otentik mengenai asal muasal nama kampung itu, tetapi dari cerita turun temurun, istilah Na Gawir itulah yang kemudian dipakai sebagai kebiasaan dengan menyebut Kampung Na Gawir dan lebih terkenal dengan panggilan Kampung Naga.
Kampung Naga berada di Dusun Naga, salah satu dari empat dusun di Desa Neglasari, yakni Dusun Naga (lima RT dan dua RW yakni RW 01 dan RW 02), Dusun Tanjak Nangsi (sembilan RT dan tiga RW yakni RW 03, 04, dan O5), Dusun Cikeusik (empat RT dan dua RW yakni RW 06 dan 07), dan Dusun Sukaratu (lima RT dan dua RW yakni RW 08 dan 09).
Rumah-rumah penduduk yang terbuat dari sasag atau bilik bambu dan atap ijuk dengan model khas yang sama dan mengarah ke hutan. Hutan di hadapan rumah penduduk konon merupakan hutan keramat karena di sana terdapat makam Eyang Singaparana, salah satu murid Sunan Gunung Jati, yang menyebarkan Islam di kawasan tersebut pada ratusan tahun lalu.

Kampung Naga dan penduduknya memiliki pesona tersendiri, sangat berbeda dengan suasana pedesaan pada umumnya yang mengikuti perkembangan zaman dan kemajuan teknologi informasi. Tak ada kendaraan bermotor, layar kaca, internet beserta kecanggihan beragam gadget, dan kemajuan gaya hidup masyarakat modern pada umumnya. Mereka tetap bertahan pada nilai-nilai tradisional dari leluhur mereka.
Baca Juga: Ini Dua Presenter yang Diusulkan Jadi Moderator Debat Keempat Pilpres
Nah, pada masa kampanye menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 17 April 2019 secara serentak memilih Presiden/Wapres, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, bagaimana mereka menyambutnya.
Di gapura di Desa Neglasari, di Jalan Raya Salawu yang menghubungkan Garut dan Tasikmalaya, perjalanan dengan kendaraan bermotor terhenti di lahan parkir yang tak jauh dari titik kumpul siapa saja yang ingin mengunjungi Kampung Naga. Di sekitar tempat itu ada Tugu Kujang Pusaka. Kujang adalah senjata tajam khas Jawa Barat.
Di satu bangunan tanpa nama yang sehari-hari berfungsi sebagai koperasi, beruntung mendapat seorang pemandu yang bisa mendampingi perjalanan menuju Kampung Naga.
Pemandu itu bernama Urya. "Urya saja," kata pemuda asli Kampung Naga itu, ketika ditanyakan nama lengkapnya.
Kami berjalan kaki di desa itu, menuruni 444 anak tangga. Urya yang berbusana pangsi hitam-hitam mengenakan iket atau totopong, kain ikat kepala khas Sunda, menceritakan bahwa jumlah anak tangga itu telah bertambah lima anaka tangga, dari jumlah 439 anak tangga sebelumnya. Anak tangga yang biasa disebut sengked tersebut dibuat dari pecahan bebatuan yang disemen.
Sampai di anak tangga paling bawah, kami sudah berada di persawahan dan berbagai kolam. Lalu sampai ke rumah-rumah penduduk asli Kampung Naga. Tampak bahwa masyarakat mereka dibangun atas dasar kebersamaan. Misalnya, untuk mandi, mereka masing-masing mandi di kamar mandi umum, begitu juga untuk buang hajat berada di tempat-tempat yang tersebar di atas kolam-kolam.